Dosen Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (PBI UMY), Puthut Ardianto bertolak ke Kolkata, India pada Sabtu (19/11) untuk berpartisipasi dalam program ‘Reimagine and Reconnect: Indo-Pacific synergies through the lens of culture. Acara yang diselenggarakan oleh Asian Confluence dan Consulate General America di Kolkata, India pada 21-22 November 2022 ini diikuti oleh 9 negara yang sebelumnya telah lolos seleksi proposal pada tahun 2021. Saat dihubungi tim humas pada Jumat (2/12) menurut Puthut, acara ini merupakan diskusi yang dilakukan oleh negara Indo Pasifik untuk membicarakan isu strategis yang dikemas melalui pertunjukan budaya.
“Ini adalah acara bertemunya negara-negara Indo pacific untuk berdiskusi beberapa topik: trade, maritime, environment and ecology. Nah, konsep acaranya dikemas dalam sebuah pertunjukan budaya. Tujuannya kita sesama negara di Indo Pacific ini bisa menemukan kesamaan dan bisa saling terhubung satu sama lain untuk menjawab isu global tersebut,” ujar Puthut.
Selain aktif sebagai dosen PBI UMY, Puthut juga aktif di Asosiasi Eco-Printer Indonesia (AEPI) sebagai ketua umum. Sejalan dengan program dan juga bidang yang ia tekuni, dalam acara ini Puthut tidak segan mengambil tema lingkungan dalam konferensinya.
“Dalam konferensi ini tema yang saya ambil adalah Environment and Ecology, yaitu bagaimana isu-isu lingkungan saat ini dipresentasikan dalam pementasan budaya yang kemudian dibahas dengan para praktisi dan akademisi yang ahli di bidangnya,” terangnya.
Dalam program ini, Puthut menyampaikan keprihatinannya akan kondisi lingkungan dan alam sekitar melalui sebuah pementasan budaya yang berjudul Renja Dewangga, an eco-fashion and cultural walk. Renja dalam Bahasa Latin berarti daun, sedangkan Dewangga dalam Bahasa Sansekerta bisa diartikan kain yang indah. Pertunjukan ini merupakan kombinasi antara tembang Macapat, tari klasik gaya Yogyakarta, dan parade eco-fashion. Pada awal penampilan, Puthut membawakan macapat Pangkur yang telah digubah dalam Bahasa Inggris. Puthut lalu memainkan dua tokoh wayang Rama dan Sinta dengan membawakan dialog menyikapi isu-isu lingkungan yang sempat terjadi di Indonesia, terutama maraknya trend fast fashion di kalangan masyarakat dan ketidakpedulian akan limbah fesyen yang dihasilkan.
Puthut menyampaikan jika dialog antara Rama dan Sinta ditutup dengan sekar macapat Dhandanggula yang mengawali digaungkannya kampanye slow fashion movement dengan parade yang dibawakan oleh penampil dari India dengan mengenakan busana konsep slow fashion dengan teknik eco-printing.
Tentunya Puthut tidak datang ke Kolkata sendiri, ia juga datang bersama dua mahasiswanya yang turut ambil bagian dalam pementasan tersebut, mereka adalah Duhita Kalyana Diwyacitta, dan Muhammad Zacky Hidayat. Tiga penampil dari India juga turut memeriahkan pementasan yang digawangi langsung oleh Puthut tersebut, tiga orang India tersebut yaitu Sriradha Paul, Sameek Ghosh, dan Devasish Pradhan. Puthut menjelaskan jika penampil dari India itu tampil dengan menggunakan kain Saree Ecoprint buatannya.
“Mereka mengaku merasa sangat bangga bisa mengenakan Saree yang mana itu adalah pakaian khas India. Apalagi Saree yang mereka gunakan terbuat dari bahan-bahan ramah lingkungan (biodegradable) dan motif yang dihasilkan dari tanaman/bunga yang ada di sekitar kita”, ucap Puthut menjelaskan pernyataan Sriradha Paul.
Jiwa seni dan budaya Indonesia Puthut sudah mendarah daging, namun ia juga tidak lupa dengan dunia pendidikan yang ia geluti. “Saya percaya bahwa mengajar adalah sebuah seni pertunjukan, ruang kelas merupakan panggung untuk guru dan siswa mengaplikasikan skenario pembelajaran,” tambah Puthut.
Konferensi ini juga mendatangkan 40 pembicara, 75 penari dan pemusik dari negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Sri Lanka, Thailand, Myanmar, Filipina, Vietnam, Bangladesh, Bhutan, Nepal, dan Amerika Serikat.