Berawal dari rasa keprihatinan akan nasib penyandang disabilitas di Indonesia khususnya di Yogyakarta, dengan berbagai permasalahan yang menyangkut kesejahteraannya, dosen Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Arni Surwanti., M.Si, tergerak mengikuti pelatihan selama satu bulan di Melbourne, Australia. Selama satu bulan tersebut, Arni mengikuti pelatihan mengenai kesehatan mental bagi penyandang disabilitas. “Australia merupakan salah satu dari negara yang saya kunjungi untuk belajar tentang layanan pada penyandang disabilitas. Pada bulan Agustus lalu (1-30/8), saya menjadi salah satu peserta dari Training tentang International Mental Leadership Program,” ungkapnya saat diwawancarai pada Kamis (26/11).
Sebelum mengikuti pelatihan di Melbourne, selama 12 tahun terakhir, Arni beserta dua temannya membentuk dan bekerja untuk CIQAL (Center For Improving Qualified Activities in Life Of People With Disabilities) yang berlokasi di Trihanggo, Gamping, Sleman. “Organisasi ini (CIQAL, red) dibentuk sejak tahun 2002 yang melibatkan saya beserta dua teman saya yaitu Suryatiningsih dan Ibnu Sukaca yang semuanya penyandang disabilitas. Sedangkan yang dari UMY hanya saya sendiri,”ungkap Arni.
Arni menambahkan, kebanyakan teman-teman penyandang disabilitas tidak mendapatkan akses pendidikan yang cukup, serta kesempatan mendapatkan pelatihan yang masih terbatas. Sehingga tidak mengherankan kalau penyandang disabilitas di Indonesia masih sulit mendapatkan pekerjaan. “Kondisi kesehatan penyandang disabilitas rata-rata sangat rentan, diperburuk dengan hampir semua belum mendapat kesempatan akses jaminan kesehatan,” tegasnya.
Pada permasalahan tersebut, Arni menjelaskan kembali bahwa layanan kesehatan di puskesmas juga belum menyediakan layanan yang dibutuhkan penyandang disabilitas, seperti fisioterapi dan home care. Hal ini juga diperparah dengan kondisi lingkungan yang tidak aksesible, sehingga rata-rata penyandang disabilitas kesulitan berpergian, karena mobilitas yang terbatas. “Berawal dari melakukan berbagai kegiatan advokasi dan pemberdayaan melalui DPO inilah saya mendapat kesempatan untuk belajar bagaimana penanganan penyandang disabilitas di beberapa negara,” tuturnya.
Perhatian pemerintah dan masyarakat di Australia dikatakan Arni sudah maju, seperti peraturan perundangan yang melindungi dan memenuhi hak penyandang disabilitas termasuk di dalamnya orang dengan gangguan jiwa. Penanganan penyandang disabilitas dengan gangguan jiwa di Australia dilakukan dengan tiga tahapan, yaitu dimulai dengan penanganan medis, persiapan kembali ke masyarakat dan penanganan setelah kembali ke masyarakat.
Arni mengatakan pelatihan yang diadakan di Melborne tersebut atas kolaborasi antara Kementrian Kesehatan (Kemenkes), Kementrian Sosial Republik Indonesia (Kemensos RI), dan The Global and Cultural Mental Health Unit, serta School of Population and Global Health University of Melbourne. Kemenkes (Khususnya Direktorat Kesehatan Jiwa) bertanggung jawab untuk melaksanakan UU tentang Kesehatan Jiwa, Peraturan Pemerintahnya juga perlu diwujudkan dalam 12 bulan mendatang. “Ini akan menjadi prioritas sangat penting untuk Kementrian Kesehatan dalam 12 bulan mendatang. Adanya peraturan perundangan ini menunjukkan adanya komitmen secara eksplisit untuk melakukan perlindungan hak asasi manusia bagi siapapun yang memiliki gangguan mental,” terangnya.
Dengan kolaborasi antara Kemenkes dan Kemensos terkait pengembangan rehabilitasi berbasis masyarakat dan layanan, Arni menambahkan bahwa hal ini akan menjadi prioritas tinggi untuk memastikan pelaksanaan UU Kesehatan Jiwa sesuai dengan United Nation- Convention of Human Right of Person With Disabilities (UN- CRPD).
Tujuan dari program tersebut adalah untuk meningkatkan kapasitas personal di dalam jajaran Kemenkes dan Kemensos, dalam rangka mengimplementasikan secara terpadu UU Kesehatan Jiwa yang telah ditandantangani oleh Presiden pada 2 September 2014 dan Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada bulan Oktober 2011 (UU No. 19 tahun 2011).
Arni berharap dengan mengikuti pelatihan tersebut menjadikan pengalamannya di Australia tersebut dapat menjadi referensi semua stakeholder dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas, khususnya pada penyandang disabilitas dengan gangguan jiwa. “Bulan depan UMY akan melaunching pusat studi disabilitas. Tentunya pengalaman training ini mendukung rencana pendirian pusat studi disabilitas di UMY,” harap Arni. (hevi)