Batik merupakan warisan budaya Indonesia yang telah diakui dunia internasional. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu propinsi penghasil batik terkenal baik skala nasional maupun internasional. Aspek historis dan geografis menjadi modal penting bagi industri batik Yogyakarta karena memiliki tradisi membatik yang telah berlangsung berabad-abad. Selain itu sebagai tujuan wisata terbesar kedua di Indonesia, Yogyakarta mendapatkan kemudahan dalam pemasaran produknya.
Dalam rangka turut berperan dalam melestarikan industri batik di tanah air khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta, pada tahun 2019 ini Tim Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)dari program studi Teknik Elektro yang diketuai Dr. Ramadoni Syahputra, ST., MT. dengan anggota ing. Faaris Mujaahid. M.Sc. melaksanakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan untuk proses produksi batik. Teknologi ramah lingkungan yang diimplementasikan di Unit Kecil dan Menengah (UKM) batik adalah kompor batik listrik otomatis.
Dihubungi oleh Tim Biro Humas dan Protokol UMY, Ramadoni menjelaskan bahwa proses produksi batik selama ini masih menggunakan kompor batik dengan bahan bakar minyak. “Selama ini dalam proses produksinya, UKM batik menggunakan kompor batik berbahan bakar minyak tanah. Dalam pelaksanaannya harga minyak relatif mahal dan sering sulit didapat. Selain itu asap yang dihasilkan dari kompor minyak tanah juga cukup mengganggu dan dapat berdampak buruk terhadap kesehatan para perajin batik. Oleh karena itu diperlukan kompor batik yang hemat biaya produksi dan ramah lingkungan,” jelasnya
“Kegiatan pengabdian ini kami laksanakan di UKM batik Ida Lestari yang belokasi di Dusun Pijenan, Desa Wijirejo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul. Desa Wijirejo telah lama dikenal sebagai sentra industri batik di kabupaten Bantul. Dalam kegiatan ini UKM batik didorong untuk menggunakan kompor batik listrik otomatis dalam proses produksi batik. Kompor listrik yang bekerja pada tegangan 220 V mengkonsumsi daya maksimum 80 watt terutama pada saat awal memanaskan lilin atau biasanya disebut malan,” lanjut Ramadoni
Ramadoni juga menjelaskan perbandingan yang digunakan saat menggunakan kompor batik minyak tanah dengan kompor batik listrik. “Berdasarkan perbandingan penggunaan kompor batik minyak tanah, maka penggunaan kompor batik listrik menghasilkan penghematan yang signifikan. Sebagai ilustrasi untuk penggunaan dua buah kompor minyak tanah dalam sehari membutuhkan 1 liter minyak tanah. Jika harga minyak tanah adalah Rp 12.000 per liter, maka dalam 1 bulan dibutuhkan biaya bahan bakar sebesar Rp 375.000. dapat dibandingkan bahwa jika menggunakan dua kompor listrik masing-masing 80 watt yang menggunakan listrik PLN dalam produksinya, maka dalam satu bulan dapat menghemat biaya produksi sangat signifikan, karena biaya produksi yang dibutuhkan hanya berkisar 15% dari biaya produksi menggunakan kompor minyak tanah,” terangnya.
“Keunggulan kompor batik listrik selain hemat dan ramah lingkungan adalah bahwa kompor batik listrik juga lebih aman dari bahaya kebakaran serta lebih aman dari kelangkaan bahan bakar. Namun demikian tantangan yang dihadapi UKM dalam mengaplikasikan kompor batik listrik adalah biaya investasi yang relatif mahal serta dibutuhkan keterampilan dalam perawatan kompor batik listrik sehingga dapat dipergunakan dalam jangka waktu lama,” tutup Ramadoni (CDL)