Berita

Dosen UMY Angkat Isu Pengantin Pesanan Dalam Penelitian

Perdagangan manusia merupakan kejahatan yang merenggut hak asasi manusia korbannya. Mirisnya, tindakan kejahatan transnasional ini masih belum benar-benar dapat terselesaikan. Ditambah lagi dengan perkembangan teknologi yang turut mengembangkan bentuk, modus, dan tujuan dari perdagangan manusia. Salah satunya ialah dalam bentuk pengantin pesanan. Dalam fenomena ini, wanita dan anak diperdagangkan dengan modus perkawinan yang kerap kali berujung pada perbudakan, pemerkosaan, dan pelecehan. Tahun 2019 menjadi tahun dengan jumlah kasus pengantin pesanan terbanyak di Indonesia, dan menjadi konsen tinggi bagi pemerintah.

Isu pengantin pesanan ini diangkat oleh Yulianto Achmad, S.H., M.H., Dosen Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dalam penelitian yang berjudul Implementasi Protokol Palermo Tahun 2000 Dalam Mengatasi Kasus Pengantin Pesanan Tahun 2019 di Indonesia. Dalam penelitian ini, Yulianto berkolaborasi dengan mahasiswanya, Salsabila Husna Salwa. Fenomena pengantin pesanan ini diteliti secara mendalam pada Januari hingga April 2022.

Saat ditemui oleh BHP pada Kamis (28/07), Yulianto menerangkan bahwa dalam kebanyakan kasus pengantin pesanan, para pemesan kebanyakan merupakan pria yang berasal dari Tiongkok yang memesan wanita dari Indonesia untuk diboyong pulang ke negaranya untuk dijadikan istri. Hal ini ia kaitkan dengan peraturan ketat yang ada di Tiongkok mengenai pernikahan. “Di sana tidak diperbolehkan berpoligami, punya anak lebih dari satu juga tidak boleh, juga ada ketimpangan jumlah perempuan dan laki-laki, untuk menikah pun persyaratan maharnya sangat tinggi. Banyak yang tidak mampu tapi ingin menikah sehingga mereka memilih alternatif dengan mencari istri dari luar negaranya dengan biaya yang bisa mereka jangkau, akhirnya mereka mencari agen sebagai ‘mak comblang’,” ungkapnya.

Fenomena pengantin pesanan ini erat kaitannya dengan faktor persoalan ekonomi. Para wanita pesanan biasanya berasal dari keluarga tidak mampu yang tergiur dengan iming-iming untuk kehidupan yang lebih layak dan berkecukupan. Selain itu, para wanita dijanjikan akan diperlakukan dengan baik dan tetap diberikan kemudahan akses kepada keluarganya di Indonesia. “Yang menjadi masalah adalah setelah sampai ke Tiongkok, semuanya tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan. Katanya akan dimakmurkan, ternyata mereka dieksploitasi. Disuruh bekerja dengan upah yang kurang, bahkan mendapatkan kekerasan dan pelecehan seksual,” terangnya.

Lebih lanjut, Yulianto menjelaskan bahwa isu ini diangkat oleh ia dan mahasiswanya karena merupakan isu yang menarik dan belum banyak diteliti secara spesifik oleh banyak orang. Yulianto ingin mengetahui secara mendalam upaya apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia agar kejadian pengantin pesanan ini tidak terulang. Output yang didapatkan adalah, ia bisa memberikan gambaran kondisi tentang pengantin pesanan yang sebenarnya hanyalah kedok untuk perdagangan manusia yang dikemas secara rapi kepada masyarakat agar lebih waspada.

“Yang kami temukan dalam penelitian ini, pemerintah telah bekerjasama dengan Kementerian Luar Negeri khususnya Kedutaan Besar Republik Indonesia di Tiongkok untuk mengatasi hal ini. Kendalanya adalah pemahaman mengenai pengantin pesanan yang dipahami oleh pemerintah Indonesia sebagai kejahatan perdangangan manusia tidak dianggap demikian oleh pemerintah Tiongkok. Pemerintah telah melakukan pemulangan para wanita pengantin pesanan ke Indonesia. Ini tidak mudah, karena status pernikahan yang sah, izin dari suami menjadi kendala juga. Agak alot lah. Dari 42 orang, baru bisa dipulangkan 36 orang,” jelas Yulianto. Lewat penelitiannya ini, ia pun berharap agar fenomena pengantin pesanan ini tidak terjadi lagi. (ays)