Banyak orang salah kaprah bahwa sistem ekonomi Islam hanya ada pada Bank Syariah. Padahal, Bank Syariah itu hanyalah salah satu aspek dari fokus kajian ekonomi Islam. Kajian ekonomi Islam itu sebenarnya juga membahas tentang keuangan, pengembangan zakat dan wakaf, serta pada pengembangan sektor ekonomi riil yang merupakan bagian dari kreativitas masyarakat.
Demikian benang merah dari materi yang disampaikan oleh empat panelis dalam acara Seminar Nasional “Merubah Paradigma dalam Memahami Ekonomi Islam (Dari Pendekatan Normatif Menuju Sistem Ekonomi Rasional)”. Seminar yang diselenggarakan dalam rangka Sharia Economic Week “Restorasi Pemikiran Ekonomi Syariah” ini, dilaksanakan di gedung AR. Fakhruddin B Lantai 5, Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Sabtu (18/5).
Masyhudi Muqorrobin,M.Sc.,Ph.D.,Akt, menyampaikan bahwa masih banyak pula yang keliru memahami tentang ekonomi Islam. Ekonomi Islam seolah-olah hanya sebatas kajian normatif, yang tidak lepas dari pengaruh pemikiran positifisme dalam ilmu konvensional. “Namun jika dilacak secara historis, falsafah pemikiran positifisme itu tidak lepas dari pengaruh pemikiran Islam, sebelum berkembangnya ekonomi modern dalam bingkai madzhab ekonomi klasik,” jelasnya.
Hal terpenting pula menurut Ketua Prodi Ilmu Ekonomi Syariah dan Perbankan (IESP) UMY ini, sistem ekonomi Islamlah yang juga akan mengawali pergeseran peradaban dunia. “Negara Barat sudah 7 abad berjaya, sekarang saatnya negara kita. Meskipun ini akan dimulai dari negara China, namun berikutnya yang akan menjadi pemenang adalah Indonesia, dengan sistem ekonomi Islamnya. Dalam konteks konfusianisme China, tidak ada pemyatuan antara agama dengan ilmu pengetahuan. Sementara dalam Islam, hal itu ada. Inilah kemudian yang menjadikan sistem ekonomi Islam bisa menjadi pemenangnya,” terangnya.
Sebelumnya, pernyataan senada juga diungkapkan oleh Kepala Subdirektorat Analisis Keuangan dan Pasar SBSN, Kementerian Keuangan Indonesia, Riestianti, S.E.,M.Com. Ia memaparkan, perkembangan ekonomi Islam cukup pesat hingga saat ini, baik dalam sektor keuangan, perbankan, atau pun sektor ekonomi riil lainnya. Bahkan, sistem ekonomi Islam ini juga ikut dikembangkan oleh negara-negara non-Muslim. “Ini karena mereka melihat adanya peluang besar dalam sistem ekonomi Islam. Selain itu, market di keuangan syariah itu juga cukup besar,” paparnya.
Dosen dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Swasta Mandiri, Rudi Nugroho juga menyampaikan bahwa peluang ekonomi Indonesia sangat besar dalam memenangkan perekonomian global. Hal ini karena perkembangan institusi ekonomi Islam di Indonesia yang semakin pesat. “Selain itu, Indonesia ini juga negara yang Auto Pilot, walaupun pemimpinnya tidak bisa berbuat banyak, pertumbuhan ekonominya tetap berjalan dengan baik. Ini juga karena rakyat Indonesia memiliki tingkat ketergantungan yang minim, dan tingkat kreativitas yang tinggi,” ujarnya.
Sementara itu, pakar filantropi, Hilman Latief, S.Ag., M.A. P.hD mengatakan, perkembangan ekonomi Islam tidak bisa dilepaskan dari ide dasar para pendahulunya yang melakukan perlawanan pada kolonialisme. Karena itulah, ekonomi Islam juga tetap menyangkut masalah sosialisme dan solidaritas sosial. “Konsep dasar yang membentuk ekonomi Islam itu bersandar pada prinisp keadilan, solidaritas, anti-korupsi, tolong menolong, dan moral. Jadi, pembahasan konteks ekonomi Islam itu sebenarnya juga menyangkut tentang moral ekonomi. Jangan sampai moral itu dikesampingkan, dan menggunakan label-label syariah untuk melakukan hal-hal yang tidak membantu rakyat miskin,” pungkasnya.
Acara seminar ini diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Ekonomi Perbankan Islam (HMJ-EPI) UMY, Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam (FoSSEI) UMY, bekerjasama dengan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Yogyakarta. Dalam acara ini juga dihadiri oleh Bupati Sleman yang juga ketua MES wilayah DIY, Drs. H. Sri Purnomo, M.Si.