Penerapan energi terbarukan menjadi salah satu pilar dalam mengusung Sustainable Development Goals (SDGs) di Indonesia, dimana Pertamina memegang peran penting sebagai perusahaan energi dan gas terbesar di Indonesia. Senior Vice President of Strategy & Investment dari PT. Pertamina Persero, Henricus Herwin menyebutkan bahwa ketersediaan energi seperti minyak, gas dan batu bara akan mengalami ketidakpastian di masa depan, sehingga perlu pertimbangan dalam menavigasi penggunaan energi dalam jumlah besar. Energi terbarukan menjadi jalan keluar dalam mengatasi kelangkaan energi.
Ini disampaikan oleh Henricus melalui pidatonya dalam agenda Rapat Senat Terbuka Laporan Tahunan Rektor dan Pidato Milad ke-43 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Sabtu (18/5). Dengan tema ‘Responsible Innovation for Sustainable Humanity’, Henricus mengatakan bahwa Pertamina melalui Pertamina Energy Institute telah membuat tiga skenario untuk mendefinisikan ketidakpastian dari pertumbuhan ekonomi dan transisi energi. Ketiga skenario ini, terdiri dari Ordinary State, Appropriate Sustainability dan Economic Renaissance mengacu kepada pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia.
“Dalam dua skenario yang pertama, pertumbuhan PDB kami anggap berada di kondisi moderat dan Indonesia sudah mulai melakukan transisi energi. Namun untuk skenario Ordinary State Indonesia masih berfokus kepada keamanan energi sehingga transisinya akan lebih lambat jika dibandingkan dengan skenario Appropriate Sustainability. Berbeda dengan skenario Economic Renaissance dimana kami proyeksikan sudah mencapai Indonesia Emas sehingga pertumbuhan PDB tinggi, selaras dengan transisi energi,” ujar Henricus.
Ia menambahkan bahwa seluruh skenario memperlihatkan perkembangan dari penggunaan energi di Indonesia yaitu energi konvensional yaitu minyak, gas dan batu bara, serta energi terbarukan. Penggunaan energi terbarukan akan terus mengalami peningkatan di ketiga skenario, sementara permintaan untuk energi konvensional akan terus menurun seiring dengan diterapkannya transisi energi. Menurut Henricus, pertumbuhan PDB memang menjadi salah satu faktor kuat yang mempengaruhi cepat atau lambatnya transisi energi menuju energi terbarukan.
“Pertamina telah menyusun strategi untuk memperkuat ketahanan energi nasional, sambil secara bertahap membangun bisnis rendah karbon sebagai proses transisi energi. Salah satu contohnya adalah Pertamax Green, dimana kami mengkombinasikan bensin dengan bioetanol sehingga dapat menurunkan emisi karbon dioksida secara optimal, sekaligus membuka peluang bagi industri seperti tebu atau ubi yang menjadi bahan baku bioetanol,” imbuhnya.
Henricus juga berharap agar Pertamina dapat memanfaatkan sumber energi terbarukan yang melimpah di Indonesia, selain sebagai persiapan menghadapi transisi energi namun juga untuk mendukung energi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, sesuai dengan tujuan dari SDGs. Ia pun mengapresiasi UMY sebagai institusi pendidikan tinggi yang menjadikan SDGs sebagai landasan dalam berinovasi.
Rektor UMY, Prof. Dr. Ir. Gunawan Budiyanto, M.P., IPM., ASEAN Eng. menjelaskan bahwa UMY telah menerapkan prinsip dari SDGs dalam berbagai program, utamanya untuk penelitian dan pengabdian masyarakat. Ia menyebutkan bahwa seluruh agenda yang terkait SDGs melibatkan seluruh civitas academica UMY dan berorientasi kepada berkelanjutan, demi memberikan dampak nyata dan positif bagi masyarakat.
“Hingga saat ini, pengakuan terhadap pelaksanaan SDGs di UMY telah tercatat oleh berbagai lembaga dunia dan masuk ke dalam pemeringkatan internasional. Berbagai upaya yang telah kami lakukan, kami harap tidak hanya berupa perubahan signifikan dalam aspek kemanusiaan. Namun, lebih jauh juga dapat menjadi motivasi dan inspirasi bagi banyak institusi pendidikan tinggi lain agar dapat berperan aktif membangun dunia yang berkelanjutan,” ungkapnya. (ID)