Oleh:
Dimas Bagus Wiranatakusuma*
Evaluasi Perekonomian Tahun 2015
Turbulensi perekonomian Indonesia nampaknya masih akan terus berlanjut di tengah badai perekonomian global yang penuh ketidakpastian. Berdasarkan laporan semester II Bank Indonesia, setidaknya ada 3 (tiga) sumber ketidakpastian global yang dapat memberikan kejutan terhadap kondisi sistem keuangan Indonesia, yaitu:
Pertama, masih berlanjutnya pelemahan dan ketidakpastian perkembangan ekonomi global. Realisasi pertumbuhan Amerika Serikat yang belum sesuai dengan ekpekstasi banyak pihak sehingga kebijakan normalisasi suku bunga serba uncertain. Disamping itu, kebijakan ekonomi di Eropa dan Jepang yang mempertahankan kebijakan suku bunga rendah turut menambah likuiditas global yang mengarah kepada semakin liarnya lalu lintas dana global. Kedua, penguatan mata uang USD terhadap hampir seluruh mata uang dunia. Membaiknya fundamental AS, sedang pada saat yang sama terjadi pelemahan ekonomi Tiongkok, memicu ekspektasi positif investor yang mencari risk adjusted return yang lebih tinggi. Ketiga, pelemahan harga komoditas internasional disebabkan perlambatan ekonomi global, ditunjang lagi oleh penguatan USD melalui mahalnya harga impor.
Ketidakpastian kondisi global tersebut, sayangnya disertai oleh pelemahan kinerja perekonomian Indonesia sehingga tekanan di pasar keuangan turut meningkat. Indikasi tekanan pada ekonomi Indonesia tercermin pada beberapa variabel ekonomi, diantaranya (i) penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 7.1% dari 5288.00 di semester II 2014 menjadi sekitar 4910.66 semester I 2015; (ii) meningkatnya Surat Berharga Negara 10 tahun dari 7.74% pada semester I 2014 menjadi 8.26% pada semester I 2015; (iii) perlambatan intermediasi perbankan tercermin dari Loan to Deposit Ratio, 89.30% pada semester II 2014 menjadi 88.62% pada semester I 2015 yang dipicu oleh meningkatnya resiko perbankan, tercermin dari resiko kredit, pasar, dan likuiditas; (iv) kenaikan kredit macet perbankan menjadi 2.56% pada semester I 2015 dari 2.16% di semester I 2014, termasuk pada sektor usaha kecil menengah; (v) tekanan pada sektor rumah tangga meningkat ditandai dengan rasio hutang terhadap pendapatan di atas 30%; (vi) nilai tukar Rupiah melemah 9.8% antara Desember 2014 hingga Desember 2015; (vii) BI rate masih bertengger di tingkat 7.5% per Desember 2015 atau turun 25 basis poin dibanding Desember 2014; (viii) cadangan devisa terkuras/menurun sebesar 10.4% per Desember 2015, dibanding Desember 2014; (ix) tekanan inflasi menurun drastis menjadi 4.89% per November 2015 dibanding Desember 2014, sebesar 8.36%; dan (x) peningkatan volume hutang luar negeri sebesar 3.5% per Oktober 2015 dibanding Desember 2014, dimana didominasi oleh utang sektor swasta.
Berdasar pada kedua fakta di atas, tampak bahwa evaluasi ekonomi Indonesia di tahun 2015 memberikan potret yang pesimis. Hal itu disebabkan oleh pelemahan beberapa indikator domestik dan diperparah oleh ketidakpastian perekonomian global. Dengan demikian, evaluasi perekonomian Indonesia masih menyisakan pencapaian yang perlu diwaspadai, terutama oleh pembuat kebijakan mengingat bayang-bayang menuju instabilitas masih terbuka.
Outlook Perekonomian Indonesia Tahun 2016
Sebelum melihat lebih dekat outlook di 2016, menarik untuk menilik evaluasi dan outlook yang direlease oleh IMF Report tahun 2015, “Global growth for 2015 is projected at 3.1 percent, 0.3 percentage point lower than in 2014, and 0.2 percentage point below the forecasts in the July 2015 World Economic Outlook (WEO) Update. Prospects across the main countries and regions remain uneven. Relative to last year, the recovery in advanced economies is expected to pich up slighly, while activity in emerging market and developing economies is projected to slow for the fifth year in a row, primarily reflecting weaker prospects for some large emerging market economies and oil-exposrying countries. In a environment of declining commodity prices, reduced capital flows to emerging markets and pressure on their currencies, and increasing financial market volatility, downside risks to the outlook have risen, particularly for emerging market and developing economies.”
Berdasarkan laporan di atas, tampak bahwa outlook ekonomi dunia masih kurang menggembirakan dan mungkin pesimis menuju normalisasi dan stabilisasi. Dalam konteks Indonesia, adakah juga di tahun 2016 outlook Indonesia lebih baik atau sebaliknya? Berdasarkan World Economic Outlook, IMF 2015 dan RAPBN 2016, outlook Indonesia terutama di sektor ekonomi dapat ditinjau dari beberapa indikator: (i) dalam hal pertumbuhan ekonomi, diproyeksikan tumbuh 5.1% di tahun 2016, atau naik 0.4% dibanding tahun 2015 sebesar 4.7%; (ii) tingkat inflasi diproyeksikan pada 5.4% atau lebih rendah 1.4% dari 2015 sebesar 6.8%; (iii) neraca berjalan di tahun 2016 masih defisit sebesar 2.1% atau membaik sebesar 0.1% dibanding tahun 2015, sebesar defisit 2.2%; (iv) nilai tukar rupiah tahun 2016 dikisaran Rp 13.400 per dollar, dibanding Rp 12.500 per dollar pada APBNP 2015; (v) Suku Bunga SPN 3 bulan (%) tahun 2016, 5.50% berbanding 6.20 di tahun 2015; (vi) harga minyak dipatok tetap sebesar 60 USD per barrel, begitu juga lifting minyak dan gas yang tidak banyak berubah.
Berdasarkan kondisi beberapa variabel ekonomi di atas, maka outlook mengenai kondisi Indonesia di tahun 2016 adalah (i) perekonomian Indonesia bersifat survival dibanding ekspansif di tahun 2016 dikarenakan kondisi domestik belum mampu mendorong ke arah keseimbangan akibat masih kuatnya ketidakseimbangan global; (ii) kebijakan moneter ke depan masih dibayangi kekakuan suku bunga yang relatif tinggi akibat pencapaian target inflasi sebesai 3.5-4.5 dan resiko pelemahan rupiah terhadap dollar; (iii) defisit keuangan negara akan meningkat mengingat belum kompetitifnya daya saing perdagangan internasional Indonesia sehingga diperlukan banyak pembangunan infrastruktur yang pada gilirannya akan membutuhkan sumber pendanaan besar; (iv) rendahnya harga komoditas di pasaran internasional otomatis membuat penerimaan negara dari sektor non pajak akan berkurang dan kecenderungan untuk menggenjot penerimaan dari sektor pajak akan meningkat sehingga akan mengurangi daya beli rumah tangga dan produksi perusahaan; dan (v) volume hutang luar negeri negara akan meningkat karena pembiayaan untuk pembangunan meningkat namun pelemahan kondisi eksternal akan menghambat pendapatan negara selain pajak.
Kesimpulan
Perekonomian Indonesia masih akan terus bergeliat ditengah pesimisme perekonomian global dikarenakan masih relatif baiknya laju pertumbuhan ekonomi, inflasi yang relatif rendah, serta besarnya komitmen negara dalam pembangunan infrastruktur. Namun demikian, optimisme ini diharapkan dapat kekal dan terus berlanjut dalam jangka panjang bilamana otoritas fiskal terus melakukan manajemen keuangan negara yang berkelanjutan, sedangkan otoritas moneter terus mengupayakan menjaga stabilitas sistem keuangan melalui pencapaian inflasi yang rendah dan mata uang yang stabil. Disamping itu, keberadaan lembaga pengawas lembaga keuangan dan lembaga penjamin simpanan tetap terus meningkatkan kapasitas prudential regulation di sektor keuangan. Akhirnya, optimisme perekonomian Indonesia masih ada walaupun badai global masih mengancam asalkan semua pihak berkomitmen bersama-sama untuk memajukan perekonomian Indonesia.
*Dosen Departemen Ilmu Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta