Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 sudah dimulai sejak 31 Desember 2015 lalu. Namun dampak dari MEA 2015 sendiri belum begitu jelas terlihat, baik dari sisi pihak yang mendapatkan keuntungan ataupun pihak yang mengalami kerugian. Selain itu, Indonesia perlu merefleksikan kembali kesiapan mereka karena banyak orang menilai persiapan Indonesia saat menghadapi MEA 2015 dirasa kurang optimal. Sosialisasi yang terkesan mendadak, kurang merata dan baru dilakukan pada tahun 2014 dapat menjadi evaluasi tersendiri bagi pemerintah Indonesia beserta masyarakat untuk lebih mempersiapkan diri pada MEA 2025. Pasalnya, MEA tidak hanya dimulai pada 2015 saja, namun pada 2025 mendatang, MEA akan kembali hadir dengan pilar yang lebih fokus.
Dalam Focus Group Discussion “Perumusan Saran Kebijakan Terkait Optimalisasi Peran Pusat Studi ASEAN dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2025” di Ruang Simulasi Sidang HI UMY pada Kamis (03/03), Ina H. Krisnamurthi selaku Direktur Kerja Sama Ekonomi ASEAN, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia menyampaikan bahwa akan ada beberapa perbedaan fokus pada MEA 2015 dengan MEA 2025. MEA 2015 fokus pada pasar dan basis produksi tunggal, berdaya saing tinggi, pembangunan ekonomi yang merata dan berkeadilan serta terintegrasi dengan ekonomi global. Sedangkan MEA 2025 akan fokus pada ekonomi yang terpadu dan terintegrasi penuh, ASEAN yang berdaya saing inovatif dan dinamis, peningkatan konektivitas dan kerja sama sektoral, ASEAN yang tangguh, inklusif, serta berorientasi dan berpusat pada masyarakat, dan ASEAN yang Global.
“Kita harus evaluasi dari persiapan Indonesia saat memasuki MEA 2015 lalu. Sosialisasi saya rasa kurang maksimal dan menyeluruh ke setiap bagian Indonesia. Sehingga sosialisasi itu bisa menjadi suatu hal yang salah. Untuk menghadapi MEA 2025, hal pertama yang harus kita lakukan adalah dengan membumikan pilar pertama MEA 2025 yakni Ekonomi ASEAN yang terintegrasi dan kohesif,” jelas Inna. Ia menambahkan bahwa MEA bukan hanya kajian studi milik Hubungan Internasional atau ekonomi saja. Kesalahan tersebut yang harus dapat dikoreksi, karena secara praktis MEA juga berhubungan dengan bidang studi lainnya bahkan seperti peternakan, kemaritiman, dan lain sebagainya.
Ina juga menjelaskan bahwa kesalahan dalam sosialisasi MEA juga ada pada penempatan sosialisasi. Sosialisasi pilar ASEAN dan perihal perundang-undangan serta hukum, seharusnya hanya diberikan kepada pihak pejabat dan sejajarnya saja. Sedangkan sosialisasi untuk masyarakat harusnya lebih difokuskan kepada perihal teknis terkait MEA dan persiapan secara praktis dalam menghadapi MEA. Ina menambahkan bahwa negara ASEAN lain seperti Thailand sudah lebih siap secara strategi dalam menghadapi MEA, terutama dengan memberikan pengajaran seputar ASEAN kepada masyarakat beberapa tahun sebelum MEA 2015 diberlakukan.
Ina menjelaskan hal kedua yang harus dilakukan untuk mempersiapkan MEA 2025 adalah terkait kurikulum pembelajaran ASEAN. Mata kuliah ASEAN memang wajib dalam studi Hubungan Internasional. Tetapi studi ASEAN harus dapat menjadi sebuah multistudi yang dapat dipelajari oleh program studi lainnya. Selain itu tidak hanya pada level perguruan tinggi saja tetapi juga pada tingkat di bawahnya. “Maka dari itu harus dibuat ASEAN Curriculum Sourcebook yang menjadi sumber pengajaran sekolah dasar dan menengah untuk membangun komunitas ASEAN yang outward-looking, stabil, damai dan sejahtera. Dengan tujuan untuk membantu pelajar menemukan keterhubungan dengan sesama masyarakat ASEAN, memahami hubungan antar masyarakat ASEAN agar dapat saling bertukar dan menghargai perbedaan pendapat, dan berinovasi dalam menemukan cara kerja bersama untuk melihat tujuan bersama dan masa depan yang lebih baik,” ungkap Inna.
Sedangkan untuk persiapan terakhir dalam menghadapi MEA 2025, Inna menjelaskan adalah dengan cara menetapkan strategi komunikasi nasional untuk meningkatkan kesadaran mengenai MEA 2025. “Terutama saat ini perkembangan sosial media yang sangat pesat, informasi bukan hanya datang kepada kita tetapi bagaimana menumbuhkan keinginan untuk mencari informasi tersebut. Jadi kita butuh strategi bagaimana cara mengkomunikasikan dengan baik terkait MEA 2025 ini,” tutup Ina. (Deansa)