Putusan Mahkamah Agung Nomor 365/K/Pid/2012 yang membatalkan putusan bebas dari Pengadilan Negeri Manado terhadap dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani dkk masih menjadi soroton sejumlah pihak. Para akademisi di tingkat universitas pun ikut menyoroti amar putusan MA tersebut. Karena ternyata putusan tersebut membuat beberapa universitas khususnya yang memiliki pendidikan dokter spesialis menjadi lebih waspada dan membuat kebijakkan untuk menarik para dokter spesialis di daerah – daerah, sehingga menyebabkan minimnya dokter spesialis serta dokter bedah di daerah.
Kasus dr. Ayu menimbulkan kontroversi di masyarakat karena belum adanya kesepakatan antara bidang medis dan dunia hukum. Karena keputusan dari Mahkamah Agung untuk memenjarakan dr. Ayu dkk tersebut dikhawatirkan bisa menjadi peluang untuk kriminalisasi dokter.
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang memiliki Fakultas Hukum dan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) mencoba untuk mencari jalan tengah dari perkara ini. FH dan FKIK UMY pun akan melakukan eksaminasi (menguji) putusan MA dan Pengadilan Negeri Manado terhadap dr. Ayu dkk. “Putusan yang akan digali dan diuji nanti adalah putusan bebasnya. Apakah keputusan bebas dari PN Manado itu bebas murni atau bebas tidak murni,” ujar Dr. Trisno Raharjo, SH., M.Hum., dekan FH UMY, saat membuka acara audiensi di ruang dekanat FH UMY, Sabtu (7/12).
Namun menurut Trisno, eksaminasi tersebut bukanlah bertujuan untuk mencari mana yang benar dan salah. Tapi hanya untuk menggali dan bertukar pikiran secara akademik mengenai putusan yang dikenakan pada dr. Ayu dkk. “Eksaminasi yang kami lakukan ini merupakan eksaminasi eksternal (publik) yang dilakukan oleh institusi atau perguruan tinggi. Tujuannya untuk mengetahui apakah putusan yang ditetapkan itu sudah sesuai dengan putusan yang berlaku. Dan FH serta FKIK UMY mencoba melakukan hal ini, kemudian nanti hasil dari eksaminasi ini akan dikembangkan lagi dalam suatu diskusi yang lebih luas atau seminar. Karena hal terpenting dari eksaminasi ini adalah menjembatani perkara yang terjadi, dan menjadi suatu hasil yang dapat produktif digunakan baik itu dari sisi aturan atau proses untuk melakukan tindakan medis,” jelasnya.
Eksaminasi ini, lanjut Dekan FH UMY ini lagi, tidak hanya melihatnya dari sisi hukum saja, tapi juga dari sisi medis atau kedokteran. Karena itu, menurutnya, FH bergandengan dengan FKIK UMY dalam membahas eksaminasi tersebut. “Karena kan ruh materi yang akan kami bahas nantinya itu tentang medis. Jadi yang bisa betul-betul memahami prosesnya itu ya dokter. Sebab itulah kami harus tetap mengikutsertakan tim kedokteran atau medis dalam eksaminasi ini. Agar penjelasan dari dokter juga dapat kami ketahui,” lanjutnya.
Sementara itu, Mukhtar Zuhdy, pengacara sekaligus penasihat hukum dari Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum (PKBH) UMY mengatakan bahwa pada prinsipnya hal mendasar pada peristiwa dr. Ayu itu yaitu belum adanya persamaan persepsi antara kelompok medis dengan hukum. Sehingga, belum ada titik temu dari peristiwa tersebut. “Dari sisi medis ingin memperoleh payung hukum yang terkait dengan medis saja, seperti peraturan pelaksanaan dan kebiasaan-kebiasaan praktik medisnya. Sementara dari penegak hukum melihatnya tidak hanya itu, tapi lebih pada menegakkan hukumnya, baik itu kasus perdata atau pun pidana,” tuturnya.
Melihat hal tersebut, menurut Muktar juga diperlukan formula-formula yang bisa mengakomodir dua pandangan yang berbeda itu. “Konkritnya, kita ingin melihat kasus ini secara akademik, dalam pandangan hukum bagaimana, dan kontennya secara medis bagaimana. Yang kita ekseminasikan dalam kasus ini juga sesuai dengan bidangnya masing-masing, yaitu hukum dan medis,” paparnya.
Muktar juga mengharapkan hasil dari eksaminasi tersebut bisa lebih objektif dan dijadikan bahan wacana serta persepsi yang sama dalam hal penyelesaian sengketa medis. “Target akhir dari eksaminasi ini adalah penyelesaian. Kita harapkan hasilnya bisa menjadi wacana dan persamaan persepsi dalam menyelesaikan sengketa medis,” ujarnya. (sakinah)