Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) baru saja mengadakan Acara Forum Konstitusi, pada Sabtu (16/07) di ruang sidang utama gedung AR. Fachrudin A, dengan mengangkat tema “Mahkamah Konstitusi di Tengah Turbulensi Kekuasan”. Dalam forum diskusi ini turut hadir Dr. Refly Harun, S.H., M.H., LL.M. sebagai pembicara.
Iwan Satriawan, SH., MCL., Ph.D., Dekan FH UMY yang juga sekaligus pengantar dalam diskusi ini mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi secara konseptual harus independen dan imparsial karena kehadirannya merupakan disain checks and balances ketatanegaraan agar mencegah absolutism kekuasaan. Namun, dalam praktiknya kekuasaaan akan terus mencoba menundukkan Lembaga peradilan itu untuk mengamankan keputusan politiknya. Oleh karena itu wajar dalam sejarah negara manapun terjadi turbulensi politik antara kekuasaan eksekutif, legislative dan peradilan.
“Jika dikaji dari putusannya, perfoma Mahkamah Konstitusi akhir-akhir ini terlihat cenderung menjadi stempel kekuasaan eksekutif dan legislatif. Di tengah turbulensi kekuasaan, apalagi jelang Pemilu 2024, Mahkamah Konstitusi oleh banyak pihak dianggap gagal menjadi pengawal konstitusi dan demokrasi sejati karena putusan-putusannya cenderung tidak berpihak pada prinsip-prinsip konstitusi itu sendiri “. Misalnya yang paling kentara adalah ditolaknya puluhan permohonan uji materi ketentuan Presidential Threshold 20% pencalonan presiden dan wakil presiden”, tutur Iwan.
Iwan berpendapat Mahkamah Konstitusi seharusnya menjadi lembaga kehakiman yang independen dan imparsial dan kokoh mempertahan prinsip-prinsip konstitusi dan demokrasi sehingga memberikan manfaat kepada kepentingan masyarakat banyak, bukan berorientasi menjaga kepentingan segelintir elit atau oligarki.
Iwan Satriawan juga menyoroti system seleksi hakim konstitusi. Kasus-kasus suap dan pelanggaran kode etik yang terjadi pada hakim konstitusi menimbulkan pertanyaan serius tentang kualitas independensi dan integritas dari hakim Konstitusi yang berdampak pada menurunnya kepercayaan publik kepada Mahkamah Konstitusi. Ia mengklaim jika mekanisme seleksi yang tidak bagik akan berimplikasi pada kualitas hakim konstitusi. Oleh karena itu sistem seleksi hakim konstitusi perlu perbaikan.
Sementara itu Dr. Refly Harun, S.H., M.H., LL.M. mengatakan jika turbulensi kekuasaan disebabkan adanya oligarkhi dalam tubuh pemerintahan saat ini. “Mahkamah Konstitusi yang dilahirkan pasca reformasi ternyata terpengaruh dengan turbulensi kekuasaan oligarkhi. Putusan Mahkamah Konstitusi akhir-akhir ini tampak justru menjadi penyokong kemauan orligarkhi, bukan malah mengawal prinsip konsitusi dan demokrasi itu sendiri,” kata Refly.
Ia juga mengatakan jika putusan Mahkamah Konstitusi tidak lepas dari personal individu para hakimnya, yang dipengaruhi oleh preferensi pribadi dan mungkin ada tekanan dari pihak lain, misalnya dalam perkara judicial review presidential threshold.
“Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa presidential threshold konstitusional karena memperkuat sistem presidensiil, sehingga tidak bertentangan dengan konstitusi. Padahal untuk memperkuat presidensiil, tidak perlu dengan menerapkan presidential threshold melainkan dengan pemisahan kekuasaan yang tegas antara eksekutif dan legislatif, baik secara kelembagaan maupun fungsinya, serta jaminan keberlangsungan jabatan Presiden. Artinya Presiden hanya bisa dimakzulkan ketika melakukan pelanggaran hukum,”jelasnya.
Lebih lanjut ia juga menjelaskan bahwa penetapan presidential threshold dalam Undang-Undang Pemilu bukan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka yang jadi kewenangan pembentuk Undang-Undang, apabila konstitusi sebagai norma hukum tertinggi tidak memberikan batasan yang jelas sebagaimana diatur dalam UU Pemilu. Open legal policy dapat dilakukan oleh legislator, jika memang tidak ada ketentuan dalam konstitusi; tidak bertentangan dengan konstitusi; dan konstitusi tidak secara jelas memberikan batasan terkait apa dan bagaimana materi tertentu harus diatur oleh undang-undang.
Menurut Refly Presidential Treshold sudah sangat jelas tidak diatur dalam konstitusi, karena ketentuan pencalonan presiden dan wakil presiden sudah diatur dengan sangat jelas dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang tidak mensyaratkan presidential threshold bagi partai politik yang akan mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Artinya setiap partai politik peserta pemilu diberikan hak konstitusional untuk mencalonkan pasangan presiden dan wakil presidennya.
Pemilihan presiden secara langsung adalah pesta demokrasi rakyat dengan menghadirkan calon sebanyak-banyaknya. Diberlakukannya presidential threshold, maka akan berdampak pada pembatasan jumlah calon presiden dan wakil presiden, dan hal ini akan menguntungkan bagi incumbent dan partai politik yang memiliki 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR. Dengan demikian, pengaturan presidential threshold dalam Undang-Undang Pemilu tidak sesuai dengan konstitusi, lebih ditujukan untuk kepentingan partai politik (parpol), bukan publik. (RM)