Clinical Legal Education menjadi hal penting yang harus diterapkan oleh setiap program studi ilmu hukum. Dengan menerapkan Clinical Legal Education ini, mahasiswa tidak lagi hanya mempelajari ilmu hukum di dalam kelas. Namun mahasiswa juga dapat mengidentifikasi, meneliti, dan menerapkan pengetahuan atas permasalahan hukum yang sedang terjadi saat itu. Untuk itulah, Clinical Legal Education tersebut sudah seharusnya juga menjadi bagian dari kurikulum pendidikan di setiap prodi ilmu hukum.
Hal tersebut sebagaimana disampaikan oleh Prof. Joel Townsend Direktur Monash Law Clinics dari Monash University dalam Lokakarya yang digelar oleh Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FH UMY). Lokakarya yang bertajuk “International Workshop on the Development of Clinical Legal Education” ini digelar pada Kamis (1/2), di ruang sidang utama gedung AR. Fakhruddin A Kampus Terpadu UMY.
Prof. Joel menyampaikan bahwa pendidikan hukum yang bersifat klinis memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk merasakan perbedaan antara konsep ‘hukum dalam buku’ dengan ‘hukum dalam kenyataan’. Dalam perkembangannya selama 40 hingga 50 tahun, Joel merasa bahwa Clinical Legal Education telah menjadi jalur sentral dalam sistem hukum yang diterapkan di dunia.
“Berdasarkan pengamatan saya, tekanan yang mendorong penerapan pendidikan hukum yang modern di Australia juga terjadi di Indonesia. Salah satunya adalah permintaan industri terhadap lulusan siap kerja. Lulusan dari pendidikan hukum pun diekspektasikan dapat melaksanakan pekerjaan secara praktikal dalam penerapan hukum di dunia. Teori yang telah dipelajari pun dapat diterapkan dalam pekerjaan di bidang hukum, sehingga mereka dapat berkembang menjadi praktisi hukum yang ideal,” ujar Joel.
Pengimplementasian clinical legal education pun dirasa oleh Joel memiliki beberapa tantangan, seperti perancangan skema pendidikan yang harus teliti dan hati-hati. Menurutnya, dengan sistem pendidikan hukum yang semakin berkembang dan tekanan dari pemerintah dan industri semakin besar, maka waktu yang diperlukan pun semakin terbatas, menjadikannya semakin sulit untuk dirancang dengan teliti.
“Penting bagi pihak perguruan tinggi untuk memerhatikan resiko yang ada, terutama dengan permintaan atas cakupan lingkup hukum yang semakin luas. Terlebih hal ini juga disertai dengan berkembangnya teknologi terutama artificial intelligence yang harus dimanfaatkan oleh mahasiswa yang akan menjadi praktisi hukum dengan etika yang baik,” imbuh Joel.
Sementara itu, Prof. Iwan Satriawan, MCL., Ph.D. selaku Dekan FH UMY mengatakan jika diskusi yang terjalin dapat menjadi kesempatan untuk eksplorasi dan memahami lebih dalam mengenai pendidikan hukum.
“Dari diskusi ini kita bisa mendapatkan perspektif baru tentang pendidikan hukum dari Monash University. Ke depannya Clinical Legal Education ini akan menjadi tujuan utama kami. Kami juga akan berusaha untuk mencari cara bagaimana agar kami bisa meningkatkan kapasitas mahasiswa hukum di UMY dengan pengimplementasian Clinical Legal Education. Kami juga akan mulai fokus untuk merancang kurikulum yang bersifat kolaboratif, seperti melalui pertukaran antar praktisi hukum,” ujar Iwan.
Guru Besar UMY di bidang ilmu hukum tata negara ini berharap agar FH UMY dapat merepresentasikan perkembangan dan memperbesar peluang di bidang pendidikan hukum. Dengan berbagai hasil yang dapat tercapai, lokakarya yang juga berfungsi sebagai gerbang transformasi pendidikan hukum ini dapat menjadi pelopor inovasi, kolaborasi dan pertukaran pengetahuan. (ID)