Banyak kasus kekerasan seksual di Indonesia belum bisa diselesaikan dengan adil dan membawa keberpihakan bagi para korbannya. Fenomena kekerasan seksual di Indonesia pun masih seperti gunung es karena hanya ujungnya saja yang terlihat, padahal sebenarnya banyak korban yang terbungkam atau sengaja dibungkam. Beberapa alasan mereka memilih tidak melapor diantaranya karena merasa tidak akan ada manfaatnya selain rasa malu, atau bahkan karena adanya ancaman sehingga memaksa para korban memilih untuk diam atas kekerasan seksual yang dialami.
Berlatar belakang dari permasalahan tersebut maka diproduksilah Film “Masih Ada Asa” yang menceritakan kisah Ati dan Ros, dua perempuan korban kekerasan seksual diantara ribuan perempuan korban lainnya yang berasal dari Maumere, Flores. Ati yang menjadi Ketua OSIS semasa SMA terpaksa menjadi guru honorer dengan bayaran Rp 270 ribu rupiah setelah diperkosa anggota DPRD Maumere. Sedangkan Ros terpaksa meninggalkan kampung halamannya dan menjadi pembantu rumah tangga di Jakarta setelah dirudapaksa 11 teman sekolahnya. Walau gelombang masa lalu pernah merenggut semua cita-citanya, namun keduanya terus berusaha melanjutkan hidup di tengah kesederhanaan, harapan dan tetap menolak lupa atas semua yang pernah mereka alami.
Yuda Kurniawan, selaku sutradara dalam film tersebut yang merupakan alumni dari Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tahun 2001, tersebut menjelaskan, film “Masih Ada Asa” bukan hanya menceritakan tentang harapan, tetapi juga keberanian untuk menuturkan kembali sebuah luka sekaligus pengingat bahwa disana, di Maumere, Flores, dan juga daerah-daerah lainnya di Indonesia, ada ribuan perempuan korban kekerasan seksual yang hidupnya menjadi hancur. “Cita-cita mereka mereka menjadi runtuh akibat dari kekerasan seksual yang mereka hadapi, banyak diantara mereka yang hingga kini masih menuntut ditegakkannya keadilan untuk mereka”, paparnya.
Sedangkan Caroline Monteiro selaku produser menyampaikan kesulitan pembuatan film ini karena dibutuhkan waktu 13 tahun untuk melakukan riset dan pendekatan dengan objek untuk membuat film ini karena berbagai faktor, salah satunya yaitu diperlukan pendekatan yang lebih dalam terhadap korban, yang akan menjadi aktor utama dalam film ini. “Pendekatan dan riset yang kami lakukan dalam memproduksi film ini sangat lama, hal tersebut dikarenakan berbagai kendala yang kami alami, salah satunya yaitu pendekatan kepada korban untuk menceritakan kisahnya yang menjadi halangan kami dalam memproduksi film dokumenter ini, dan syukurnya di tahun 2015 ini film ini sudah dapat kami launching dan diputar diberbagai daerah di Indonesia”, ungkap Caroline.
Film dokumenter ini ditonton dan didiskusikan mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi UMY pada Rabu malam (20/5) bertempat di Ruang Multimedia Jurusan Ilmu Komunikasi ini banyak mendapat apresiasi dan menyedot animo penonton yang merupakan dari Jurusan Ilmu Komunikasi, dan mahasiswa UMY lainnya pada umumnya.