Berita

Film ‘Rela’ Mendunia, Berhasil Tembus Festival Film Internasional

Film ‘Rela’ yang diangkat berdasarkan cerita kehidupan pribadi Bagaskara Dwitya Bima Asmara, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menorehkan prestasi di kancah internasional. Film dokumenter yang berasal dari luaran tugas perkuliahan Ilmu Komunikasi UMY tersebut berhasil masuk ke Kota Kinabalu Internasional Film Festival (KKIFF) yang diselenggarakan di Malaysia pada (07-15/09). Uniknya, film ini diangkat dari perjalanan hidup yang dijalani oleh Nenek dari Bagas.

Secara garis besar, film ‘Rela’ menceritakan tiga fase kehidupan yang diarungi oleh neneknya. Dimana, ketiga fase kehidupan tersebut berkaitan dengan rasa “kehilangan” yang mengharuskan nenek Bagas melalui proses ikhlas dan merelakan, sebagaimana judul dalam film ini. Hingga pada akhirnya nenek Bagas menjalani masa tuanya sendiri.

“Mulanya film ini diambil dari kejadian-kejadian yang terjadi dalam keluarga saya. Saya mengambil sudut pandang nenek yang mengalami banyak kejadian kehilangan. Pertama, nenek kehilangan Ibu saya yang sudah memilih jalan hidupnya sebagai mualaf. Di fase kedua, nenek saya kehilangan suaminya. Hingga akhirnya nenek saya berakhir dengan kesendirian di masa tuanya,” jelas Bagas saat diwawancara pada Selasa (17/09).

Melalui film dokumenter ini, Bagas ingin menyampaikan pesan bahwa kita sebagai manusia harus siap untuk menerima takdir dan rela bagaimana jalan hidup yang sudah ditentukan oleh Allah SWT. “Pada akhirnya setiap manusia lambat laun akan mengalami masa tua. Kelahiran, kematian, dan jodoh adalah sebuah takdir sehingga kita sebagai manusia harus siap menerima takdir yang sudah ditetapkan,” pungkasnya. Lebih dari hal itu, Bagas menjadikan film dokumenter ini sebagai arsip keluarga. Agar keturunannya dapat mengenang dan mengetahui kisah inspiratif dari keluarganya.

Setelah melewati berbagai suka dan duka dalam pembuatan film dokumenter ‘Rela’, kisah hidup keluarga Bagas berhasil diputar di kancah internasional dan memberikan rasa bangga tersendiri bagi keluarganya. Bagas juga menambahkan bahwa pengalaman berharga yang didapatkannya adalah dengan diberi kesempatan untuk bertemu sineas dari berbagai negara dan mendapatkan keleluasaan presentasi di forum internasional.

“Pada saat pembuatan film dokumenter ini, saya merasa terombang-ambing antara perasaan dan eksplorasi karena karya ini juga mengungkit perihal kisah masa lalu. Jadi saya berusaha membuat bagaimana caranya film ini juga tetap bisa menjaga perasaan keluarga. Terlepas dari itu semua, saya merasa senang dan tidak menyangka akan ditayangkan di ajang internasional,” tandasnya.

Sementara itu, Kepala Program Studi Ilmu Komunikasi UMY Dr. Fajar Junaedi, S.Sos, M.Si mengapresiasi capaian yang berhasil disumbangkan oleh mahasiswa/I Ilmu Komunikasi. “Kami selalu berusaha memfasilitasi mahasiswa mengikuti berbagai kompetisi, festival, konferensi akademik dan sebagainya untuk membangun atmosfer akademik. Hal yang terpenting adalah berproses. Kuliah di Ilmu Komunikasi UMY adalah proses bagi mahasiswa untuk memiliki kompetensi, dan mengembangkan berbagai karya. Ini ditunjang dengan berbagai laboratorium dan peralatan yang mumpuni,” ujar Fajar. (NF)