Dalam rangka menuju Indonesia Sehat, Pemerintah melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 546/Menkes/SK/VII/2006 membuat peraturan tentang pengembangan desa siaga sebagai indikatator dasar. Desa siaga sendiri merupakan desa dimana masyarakatnya sadar, mau, dan mampu menyelesaikan masalah-masalah kesehatan.
“Awalnya desa siaga dikembangkan di Aceh. Program ini berhasil dan kemudian direplikasikan ke berbagai provinsi di Indonesia termasuk DIY,”ungkap Ns. Shanti Wardaningsih, M.Kep,Sp.Jiwa selaku…..
Menurut Shanti Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FKIK-UMY) juga ikut serta dalam program desa siaga ini. “FKIK UMY mulai terjun dalam mengembankan desa siaga sejak Mei 2009 bekerja sama dengan Puskesmas setempat,”tuturnya dalam diskusi terbatas di FKIK UMY, Rabu (10/10).
Beberapa desa siaga yang sedang dikembangkan oleh FKIK UMY adalah desa Imogiri II, Sedayu II, dan Kasihan II. Setiap desa terdiri dari beberapa dusun. “Saat ini, pendampingan secara intensif sedang dilakukan di dusun Jomegatan, Kasihan II. Sedangkan yang lain masih pada tahap pendeteksian dan pendampingan kader,”paparnya.
Dalam pengembangan desa siaga ini, mahasiswa FKIK UMY khususnya mahasiswa profesi di tiga prodi yakni Kedokteran Umum, Kedoktran Gigi, dan Program Studi Ilmu Keperawatan langsung terjun ke masyarakat. “Selain sebagai ruang bagi mahasiswa untuk meningkatkan kompetensinya, Pengembangan desa siaga ini juga merupakan aplikasi dari Tri Darma perguruan tinggi yakni pengabdian masyarakat,”ungkap Shanti.
Dalam pengembangan desa siaga ada beberapa aspek yang ditanggulangi oleh FKIK, salah satunya adalah masalah kesehatan jiwa di masyarakat desa. Biasanya, kebanyakan masyarakat mendefinisikan orang yang terkena gangguan jiwa adalah orang gila, padahal sebenarnya bukan hanya gila. Banyak tindakan-tindakan seseorang seperti marah tanpa sebab, ketergantungan NAPZA, depresi, mengurung diri, dan tidak mau bergaul dengan orang lain juga merupakan gangguan kesehatan jiwa.
Ada tujuh tahap yang digunakan dalam pengembangan desa siaga ini. Pertama tahap pendeteksian. Dalam tahap ini masyarakat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yakni keluarga gangguan jiwa, keluarga beresiko yakni yang salah satu atau beberapa anggota keluarganya yang menderita penyakit kronik seperti kanker, tumor, yang bisa berdampak pada psikologi penderita penyakit tersebut dan keluarga sehat.
“Di dusun Jomegatan, awalnya hanya 15 orang yang terdeteksi mengalami dideteksi mahasiswa gangguan jiwa, namun setelah dideteksi mahasiswa ternyata ada 32 orang yang mengalami gangguan jiwa, dan 25 orang termasuk kedalam kategori keluarga beresiko,”paparnya. Namun, kasus bunuh diri akibat gangguan jiwa yang diakibatkan gangguan jiwa rendah di Jomegatan.
Kedua, memberikan pelatihan kader. Kader di sini adalah anggota masyarakat yang menjadi tim pengembangan desa siaga ini.
Ketiga, Menggerakkan masyarakat untuk mandiri berdasarkan tiga klasifikasi keluarga yakni keluaga penderita gangguan jiwa, keluarga beresiko, dan keluarga sehat. Dalam menggerakkan masyarakat ini, kegiatannya bisa berbentuk penyuluhan terpisah berdasarkan klasifikasi keluarga, ada juga terapi individu terhadap penderita gangguan jiwa.
Menurut Shanti, dalam menggerakkan masyarakat ini sengaja di pilih kata mandiri. “Karena skupnya adalah masalah kejiwaan, dalam kasus gangguan jiwa bahkan ada yang penderitanya tidak bisa mandi, tidak bisa mengurusi dirinya sendiri, dll. Sehingga tujuan akhir dari pengembangan ini khususnya bisa membuat penderita gangguan jiwa menjadi mandiri, dan secara umum bisa mendorong terciptanya masyarakat yang mandiri,”ungkapnya. “Ada satu orang penderita gangguan jiwa yang sudah mandiri malah sekarang sudah bekerja di Jomegatan,”ungkap Shanti.
Keempat, Memberikan rujukan rumah sakit. Seumpamanya ada salah satu anggota masyarakat yang terkena gangguan jiwa atau mengidap penyakit kronik sudah lama pihak FKIK UMY bisa member rujukan rumah sakit.
Kelima, Kunjungan ke rumah-rumah masyarakat sekaligus sosialisasi masalah kesehatan jiwa. Kunjungan ini dilakukan oleh mahasiswa, kader, dan juga petugas Puskesmas. Keenam, mencarikan peluang beraktifitas bagi penderita gangguan jiwa. Hal ini dilakukan untuk menghargai penderita gangguan jiwa, agar mereka tidak semakin rendah diri. “Sering sekali orang terkena gangguan jiwa itu dianggap tidak bisa melakukan apa-apa, sehingga mereka semakin merasa down,”paparnya. Di Jomegatan, bentuk aktifitasnya seperti mengumpulkan barang-barang bekas, dan mendaur ulang limbah. Ketujuh adalah dokumentasi.
Menurut Shanti hingga saat ini belum ada kendala yang berarti dalam pengembangan kesehatan jiwa di dusun Jomegatan. “Masyaratkatnya cukup terbuka untuk menerima perubahan,”paparnya. Kendala yang dialami, banyak penderita gangguan jiwa yang tidak mau minum obat. “Memang penderita gangguan jiwa sering curigaan terhadap apa yang diberikan kepadanya, selain itu juga banyak masyarakat yang jika sudah merasa sehat tidak mau minum obat padahal sebenarnya ia belum sembuh total,”tandasnya.