Di tengah kemajuan teknologi, sistem pasar bebas sangat berkembang cepat dengan hadirnya revolusi 4.0 yang telah melahirkan sistem sharing economy. Hal tersebut membuat persoalan baru dalam regulasi hukum dan kesejahteraan masyarakat. Paparan tersebut dijelaskan oleh Prof. Dr. Mukti Fajar ND., S.H., M.Hum., Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dalam acara Orasi Ilmiah Guru Besar di gedung Sportorium UMY. Acara yang diselenggarakan pada hari Rabu (25/5) ini mengusung narasi tentang ‘Hukum dan Kesejahteraan: Konsep Regulasi di Era Sharing Economy’.
Prof. Dr. Mukti Fajar ND., S.H., M.Hum., Dosen Ilmu Hukum UMY ini menjelaskan bahwa terdapat beberapa persoalan hukum yang berhadapan dengan sistem sharing economy yang disruptif, diantaranya adalah persaingan yang tidak sehat bagi pelaku usaha dengan cara tidak jujur dan melanggar hukum. “Misal dalam kasus transportasi online, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan 5 Permenhub, namun kelimanya dianggap belum mampu secara tepat mengatur, bahkan diantaranya kalah ketika di judicial review karena menghambat masuknya pelaku usaha dalam pasar, sehingga peraturan yang diatur terhadap sharing economy dalam sektor transportasi misalnya, merupakan kebijakan berbasis incremental dan trial eror,”jelas Ketua Komisi Yudisial RI.
Prof. Mukti juga menjelaskan bahwa hadirnya sharing ecomony mengubah hukum seakan kehilangan daya normatif untuk mengatur inovasi yang cukup melesat dan mengacaukan ekonomi pasar. “Oleh karena itu, dari perspektif teori hukum dan pembangunan diperlukan kondisi stability, yaitu hukum harus mampu menjaga keseimbangan dan mengakomodasi kepentingan yang saling bersaing dan predictability, yaitu hukum yang prediktif sangat diperlukan bagi negara yang masyarakatnya membangun hubungan ekonomi. Maka dari itu, tanpa kejelasan arah kebijakan ekonomi akan membuat pelaku usaha menjadi tidak nyaman dalam berinvestasi,” tandas Staff Ahli Rektor UMY ini lagi.
Indikasi Problem Hukum dari Sharing Economy
Menurutnya, terdapat beberapa indikasi problem hukum dari sistem sharing economy diantaranya, (1) kepemilikan sumber daya (resources ownership) yang sering kali laten, (2) hubungan ketenagakerjaan (workforce), (3) pertanggungjawaban para pihak. “Sementara problem hukum dari luar sistem sharing economy sangat beragam diantaranya, keamanan dan perlindungan konsumen; prosedur administratif; Hak atas kekayaan Intelektual; Perpajakan; dan Hukum Lingkungan,” papar Dosen Hukum Bisnis UMY.
“Untuk menjaga persaingan agar berjalan fair, diperlukan hukum persaingan usaha yang menjaga agar pasar tetap bebas tidak terjadi kecurangan dan pengendalian sekelompok pelaku usaha,” tambahnya.
Pada persaingan bisnis di era sharing economy ini, untuk menuju kesejahteraan masyarakat dapat dicapai jika regulasi hukum tidak menjadi hambatan dengan meminimalisir berbagai prosedur perijinan serta berbagai persyaratan yang menimbulkan tambahan biaya. “Oleh karena itu, prosedur hukum tidak boleh bertentangan dengan prinsip efisiensi dalam membuat kebijakan,” tandasnya.
Otorisasi Hukum harus direkonstruksi
Menjawab persoalan di tengah era sharing economy, menurut Prof. Mukti perlunya otorisasi hukum yang harus dikonstruksi. “Pada era sharing economy tidak lagi menempatkan kekuatan pemilik modal untuk mengendalikan pasar. Sehingga perlu adanya gagasan self regulation untuk mengatur sharing economy sebagai alternatif solusi dari kekacauan norma yang datang dari otoritas pemerintah,” jelasnya.
Prof. Mukti menyatakan bahwa gagasan self regulation dilihat dari kedudukan pemerintah dalam persaingan bebas diperlukan sebagai penjaga dan penegak hukum ketika terjadi kecurangan dan persaingan tidak sehat, mencegah praktik monopolistik, serta memberikan perlindungan dan jaminan sosial bagi masyarakat.
“Hadirnya revolusi industri dengan kekacuan persaingan bisnisnya perlu ada terobosan hukum, diantaranya (1) Bahwa hukum bisnis harus didesain secara pragmatis agar dapat mengawal perubahan model bisnis yang cepat sekali berubah; (2) Untuk itu perlu pergeseran otoritas regulator dari pemerintah ke para pelaku usaha dengan memberikan hak untuk membuat self regulation sebagai peraturan yang lahir dari kesepakatan para pelaku usaha sendiri. Hal tersebut akan lebih efektif menjaga persaingan yang adil dan pasar akan semakin dinamis, sehingga masyarakat sebagai konsumen akan banyak diuntungkan,” tutupnya. (Sofia)