Berita

Generasi Muda Harus Melek Politik

Menjelang pesta demokrasi (Pemilu) yang akan dilaksanakan pada 2024 mendatang, serta melihat adanya pembajakan demokrasi termasuk demokrasi parlementer di negeri ini, maka generasi muda harus memiliki kesadaran atau melek bagaimana situasi politik sekarang serta politik di zaman sebelumnya. Selain itu juga tidak membiarkan Republik ini dibangun oleh suatu politik dinasti yang akan mengancam rakyat Indonesia. Dengan begitu dapat bersatu untuk mempertahankan demokrasi yang sudah ada di Indonesia.

Hal tersebut sebagaimana disampaikan oleh Prof. Ikrar Nusa Bhakti, Ph.D selaku peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dalam acara Refleksi Akhir Tahun yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (Fisipol UMY)). Kegiatan yang dilaksanakan bekerjasama dengan Program Studi Ilmu Pemerintahan UMY, Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP), Majelis Hukum dan HAM (MHH) Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini digelar pada Kamis, (28/12) di Gedung AR Fachruddin A Lt.5 UMY.

“Dalam sejarah politik Indonesia, semua perubahan politik itu terjadi dilakukan oleh mahasiswa dan anak-anak muda. Jadi kalian sebagai generasi muda, harus sadar ini bukan sekadar pertarungan politik semata, namun ini juga pertarungan gagasan. Apakah kita akan mempertahankan demokrasi kita, ataukah kita membiarkan Republik ini kemudian dibangun oleh suatu politik dinasti bagi yang memiliki kekuasaan di negara ini. Oleh karena itu hal ini harus diupayakan, jangan gara-gara Anda tidak tahu menahu bagaimana zaman sebelumnya justru jadi gelap politik. Maka perbanyak membaca buku dan nonton, dengan begitu kita bisa tahu tentang politik Indonesia era orde lama, era kemerdekaan, era Soeharto itu dari membaca buku,” jelas Ikrar.

Berdasarkan data dari Freedom House, Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika. Pada tahun 2006-2013 Indonesia pernah meraih predikat sebagai a full democratic state, namun mengalami penurunan sejak tahun 2014-2020 dengan kelemahan terutama pada aspek kebebasan sipil. Dalam hal ini Dr. phil. Ridho Al-Hamdi, S.Fil.I., MA selaku Ketua LHKP PP Muhammadiyah dan Wakil Dekan Fisipol UMY yang turut mengisi acara tersebut menyampaikan kritiknya terhadap otoritarianisme kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Jadi kalau berkaca dari annual report-nya Freedom House ini justru di bawah kepemimpinan SBY yang militeristik, Indonesia mampu mencapai full demokratis, tapi justru malah sebaliknya sejak 2014 berada di bawah pemerintahan kepresidenan sipil, dimana Jokowi sebagai lambang pemimpin sipil, yang seharusnya demokrasi di Indonesia jauh lebih baik, tapi pada kenyataannya justru di bawah kepemimpinan sipil, demokrasi Indonesia menjadi jauh lebih buruk terutama pada aspek kebebasan sipil. Hal ini membuktikan data tersebut yang menunjukkan bahwa kebebasan sipil di Indonesia ini benar-benar dikebiri,” kritik Ridho.

Lebih lanjut disampaikan Ridho bahwa realitas saat ini, sistem pemilu dengan model proporsional daftar terbuka menjadikan kompetisi terbuka antar Calon Legislatif (Caleg), sehingga politik uang merajalela di kalangan masyarakat umum. Lemahnya Regulasi UU Pemilu No.7/2017 dan UU Partai politik 2008/2011, dan pada faktanya tidak adanya regulasi yang mengatur tentang perlindungan terhadap pelapor dan saksi atas perilaku politik uang di Indonesia turut memperburuk situasi.

“Secara politik itu banyak tapi fakta hukumnya sangat sedikit sekali. Seandainya ada 1000 fakta politik hukum mungkin yang bisa diproses hukum hanya 10 kasus, karna yang lainnya dari 990 tidak dilakukan oleh penyelenggara, peserta pemilu dan tim sukses yang terdaftar. Atau fakta lain buktinya tidak memenuhi karena masyarakat pun tidak mendapatkan perlindungan secara hukum,” ucapnya.

Selain itu menurut Ridho proses rekrutment komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU)- Badan Pengawas Pemilu jauh dari profesionalitas dan transparansi. Intervensi sebuah kelompok mengalahkan prinsip profesionalitas. Hasilnya mereka yang terpilih berhutang budi dan punya beban moral yang berdampak pada kapasitas lemah dalam menguasai regulasi, integritas buruk, dan tidak ada keberanian untuk menindak setiap pelanggaran pemilu termasuk politik uang.

“Perlu evaluasi serius terhadap sistem pemilu tersebut dan hilangnya etika kepemimpinan dari panggung tanah air. Selain daripada itu etika juga harus dijaga untuk netralitas birokrasi, ASN, militer (TNI-Polri) dan pejabat negara di berbagai tingkatan. Etika harus di atas hukum karena dia yang melahirkan peradaban besar. Maka dari itu pentingnya peran penggerak literasi politik terhadap generasi muda agar suatu hari nanti dapat membawa kembali demokrasi yang bersih di Indonesia,” tutup Ridho. (DA)