Berita

Generasi Muda Harus Paham Akulturasi Budaya di Indonesia

Akulturasi budaya di Indonesia tentunya sangat berbeda dengan akulturasi budaya Barat. Hal inilah yang harus dipahami oleh generasi muda masa kini. Tujuannya tak lain adalah agar semua aspek kehidupan yang dilakukan tidak bertolak belakang dengan budaya yang telah kita jaga sama-sama selama ini.

Hal inilah yang disampaikan oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X, saat menyampaikan arahannya pada hari kedua Pelatihan Kader Penggerak Pancasila untuk Mahasiswa, di Benteng Vredeburg, Malioboro, Yogyakarta, Sabtu (25/11). Acara yang bertajuk “Pancasila Dalam Perbuatan” ini diselenggarakan oleh Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP), dan dilaksanakan sejak Jum’at (24/11) hingga Sabtu (25/11) di Hotel Inna Garuda, serta diikuti 250 peserta dari 25 universitas di Indonesia. Acara ini juga menggandeng empat universitas di Yogyakarta sebagai penyelenggaranya, yakni Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Atmajaya Yogyakarta (UAJY), Universitas Sanata Dharma (USD), dan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Dalam arahannya, Sri Sultan HB X memaparkan bahwa dalam hal akulturasi budaya, pemahaman orang Barat berbeda dengan orang Indonesia. Pemahaman orang Barat, menurut Sultan hanya mengenai ilmu pengetahuan. Akan tetapi orang Indonesia tidak hanya melibatkan ilmu pengetahuan, namun selalu melibatkan tradisi dan pemahaman dari etnik-etnik yang ada, serta mengedepankan etika dan moralitas yang diyakini sesuai agamanya masing-masing.

Sultan juga menjelaskan bahwa bangsa ini memang dibangun dari perbedaan yang ada. Dimana etnik-etnik yang menjadi bagian dari bangsa ini pada tahun 1928, telah menyatakan diri bahwa dari berbeda itu harus menjadi satu bangsa, yaitu Bangsa Indonesia. “Para pendahulu kita telah berkomitmen untuk menjadikan seluruh perbedaan menjadi suatu persatuaan, sebagaimana yang telah tercantum dalam Pancasila sila ke-3, yakni Persatuan Indonesia. Karena keberagaman itu merupakan suatu keunikan yang bisa memperkuat keutuhan bangsa. Kita juga memiliki suku Sunda, Jawa, Dayak, Badui, dan lainnya, yang disitu diikat menjadi satu kesatuan yakni Indonesia. Semua keetnikan yang ada di Indonesia itu telah diakui dalam konstitusi, semua etnik di bangsa ini berhak punya aspirasi dan nilai pada kebangsaan dan kebudayaannya,” ujar Sri.

Selain itu, konstitusi menurut Sultan juga memiliki peran penting dalam menentang kebodohan dan keterbelakangan yang ada di negeri ini. “Jika Anda punya pilihan untuk menjadi aparatur negara, maka jadilah birokrat yang baik dengan tidak korupsi dan menyalahgunakan wewenang. Untuk itu saya berharap generasi Anda ini tidak hanya berani mati dalam mempertahankan keutuhan bangsa. Tapi juga harus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, agar bangsa kita memiliki daya saing dan bertahan terhadap persaingan global,” imbuh Sultan lagi.

Di lain kesempatan Yudi Latif, PhD selaku Ketua UKP PIP mengatakan bahwa pemahaman kita tetang Pancasila masih normatif bahkan cenderung apatis. Bahkan nilai-nilai kenegaraan kita raib dari kesadaran kolektif kita sebagai bangsa. “Terdapat tiga pilar pemahaman Pancasila, pertama Pancasila sebagai keyakinan. Ini merupakan posisi terdasar karena Pancasila adalah pandangan hidup. Kedua yaitu pengetahuan yang merupakan buah dari rasionalisasi atas keyakinan. Ketiga yaitu tindakan, hal ini bersifat personal sekaligus sosial. Dalam kerangka keyakinan ini yang perlu diperkuat ialah pengembangan budaya kewarganegaraan (civil culture). Sebab bangsa ini masih belum sepenuhnya ditopang oleh budaya yang mestisnya sebagai prasyarat utama negara beradab. Maka saya berharap pengkaderan Pancasila ini secara tidak langsung menjadi panggilan hidup yang keluar dari jiwa terdalam sebagai manusia terdidik yang tercerahkan. Semoga pola-pola pendidikan Pancasila yang kreatif semakin bisa dikembangkan demi hidupnya Pancasila di relung sanubari masyarakat Indonesia,” tandasnya. (sumali)