Genk adalah fenomena yang tidak asing lagi bagi semua orang di dunia karena hampir di setiap negara pasti ada genk. Begitu mendengar istilah genk, sebagian orang biasanya membayangkan berbagai hal yang menakutkan atau mengerikan.
Demikian diungkapkan penulis buku yang juga Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), DR. Sidik Jatmika, dalam diskusi bukunya yang berjudul “Genk Remaja,” di Kampus Terpadu UMY, Kamis (15/4).
Menurut Sidik, walaupun fenomena genk remaja adalah fakta sosial yang telah terjadi di Indonesia maupun belahan dunia lain dalam kurun waktu lama, namun uniknya, keberadaannya tidak pernah diakui dalam sejarah. “Genk remaja seolah ada semacam kesepakatan umum bahwa mereka selalu dipukul rata atau digeneralisasi sebagai klub, genk, bahkan preman yang setara dengan pelaku tindak kekerasan ataupun kejahatan,” jelasnya.
Sidik menilai jika genk remaja yang merupakan fenomena sosial adalah hasil interelasi konteks sosial-politik global, nasional, maupun lokal. Lebih lanjut, Ia menekankan bahwa keberadaan genk remaja, dalam kenyataanya saat ini sangat dipengaruhi oleh suasana yang melingkupi kehadirannya. Misalnya, kondisi bangsa Indonesia pada tahun 1960an hingga 2010, sesungguhnya masih dalam suasana kebatinan proses dekolonisasi atau proses kemerdekaan dari penjajahan asing serta film dan musik menjadi pintu gerbang utama dari proses imitasi budaya Barat oleh remaja.
“Secara teoritis dan politik hukum, bangsa Indonesia memang telah merdeka, namun secara psikologis-ekonomis dan kebudayaan, bangsa ini ternyata tidak serta merta sudah mandiri. Mental terjajah dan neo-kolonialisme merupakan dua faktor yang saling menjalin menjadi satu, sehingga generasi muda bangsa ini tetap terpesona dan ingin meniru apa pun gaya hidup bangsa bekas penjajahnya tersebut, termasuk di dalamnya adalah meniru gaya musik dan gaya berpakaian dari film barat yang notabene adalah bekas penjajahnya,” papar Sidik.
Terkait keberadaan genk remaja yang relatif mudah berkembang dan sulit dipisahkan dari kehidupan remaja, Sidik mengungkapkan bahwa dunia remaja merupakan suatu tahap yang kritikal di dalam kehidupan manusia, yaitu peralihan dari dunia anak-anak menuju ke dunia dewasa. Dalam tahapan ini, remaja mulai mencari identitas dan penampilan diri, dimana pakar psikologi mengistilahkan dunia remaja sebagai umur emosi (emotional age). Remaja adalah kelompok yang cenderung mudah dipengaruhi, sehingga mereka dengan mudah meniru atau mencontoh apa yang dilihatnya. “Untuk itu, pemahaman psikologi perkembangan remaja dapat dikatakan faktor yang sangat berperan di dalamnya,” ujar Sidik.
Sidik menambahkan, keberadaan genk remaja seringkali dianggap sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja. Namun hal tersebut tidak sepenuhnya kesalahan ada di pundak remaja. “Orang tua hendaknya tidak terlalu khawatir ketika melihat anak-anak mereka nakal. Remaja yang nakal merupakan hal yang normal asal perilaku tersebut tidak membahayakan,” pungkas Sidik. Oleh karenanya, Ia berpesan agar masyarakat umum tidak memberikan stigma sosiopatik terhadap generasi yang melakukan penyimpangan moral “Jangan menghukum mereka dengan sanksi sosial yang berlebihan. Sebaliknya, mari kita kembangkan potensi sisi positif remaja melalui pendekatan kemasyarakatan dan konsensus bijak dengan terapi aturan adat dan agama,” tambahnya.
Sidik berharap buku tersebut dapat berfungsi sebagai sebuah jendela untuk memahami alam pikir dan ekspresi budaya darah muda remaja yang menyalurkan gelora jiwa melalui genk remaja.