Berita

Guru Besar UMY Nilai Konglomerat Berikan Dampak Bagi Kebijakan Ekonomi Nasional

Konglomerat atau kelompok bisnis besar telah menjadi salah satu faktor utama dalam pembangunan ekomomi di Indonesia, dan semakin bertransfomasi dalam dua dekade terakhir. Ekspansi dalam sektor investasi, perdagangan dan produksi yang dilakukan telah menembus pasar dunia dan sekaligus mengubah lanskap pertumbuhan ekonomi yang bergerak semakin signifikan.

Dengan mendukung pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga menjadi 20.892 triliun rupiah, pakar ekonomi politik internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Prof. Faris Al-Fadhat, Ph.D. memandang bahwa internasionalisasi kapital dari para konglomerat Indonesia tidak bisa hanya dianggap sebagai strategi perusahaan semata. Ia menilai bahwa ini menjadi landasan baru bagi pertumbuhan dan orientasi ekonomi Indonesia di masa depan.

Pandangan ini dikemukakan Faris saat pengukuhannya sebagai Guru Besar UMY melalui Orasi Ilmiah pada Sabtu (3/8). Bertempat di ruang sidang gedung AR Fachruddin B UMY, orasi yang disampaikan Faris menegaskan bahwa perlu ada pemahaman terkait integrasi internasional pengelompokkan perusahaan dalam mengkaji proyeksi ekonomi luar negeri Indonesia dalam beberapa tahun mendatang. Proses ini dapat meningkatkan permintaan ekonomi dari populasi di Asia Tenggara, dan berkaitan dengan tujuan dari para konglomerat di kancah internasional.

“Ekspansi internasional yang dilakukan oleh para konglomerat melalui korporasi bisnis mereka dapat meningkatkan integrasi Indonesia dalam jaringan produksi, komoditas serta investasi global. Pergerakan ini harus dimanfaatkan sebagai dasar bagi aspirasi negara untuk menjadi pusat ekonomi di Asia Tenggara, dan membentuk kembali preferensi kebijakan ekonomi dari pemerintah,” ujar Faris.

Mengingat langkah kebijakan pemerintah di lingkup regional yang membebaskan dan memperluas arus investasi dan perdagangan, Faris melihat peluang ekspansi dari konglomerat pun diuntungkan oleh proyek integrasi ekonomi seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Ini sekaligus menjadi penegasan bahwa internasionalisasi kapital para konglomerat Indonesia tidak bisa dianggap hanya sebatas strategi perusahaan. Adanya kerja sama ekonomi tersebut telah berkontribusi penting dalam mempermudah proses serta regulasi bagi operasi konglomerat di lingkup global.

“Perlu dicatat juga bahwa meskipun lanskap ekonomi di kawasan regional telah menyediakan lingkungan regulasi yang menguntungkan bagi perusahaan untuk berekspansi secara internasional, para konglomerat atau pelaku bisnis Indonesia tetap harus mewaspadai beragam tantangan. Salah satunya konsekuensi dari kerja sama ekonomi yang akan berdampak pada internasionalisasi kapitalis dari setiap negara, yang dengan berbagai kepentingannya dapat mempersulit proses negosiasi,” imbuhnya.

Berbagai tantangan tersebut, menurut Faris tidak hanya menjadi perhatian dari pelaku bisnis namun juga pemerintah. Mengingat hubungan yang erat antara kelas kapitalis dan elit politik di banyak negara Asia Tenggara. Dosen Hubungan Internasional UMY ini juga mengingatkan pemerintah yang memiliki peran kunci atas kontribusinya pada kerangka kerja regional, jika Indonesia memiliki posisi strategis dalam kerangka tersebut sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Ini berdampak kepada peralihan menuju ekonomi yang digerakkan pasar serta mendorong integrasi kelompok korporasi Indonesia dalam pasar regional, sehingga memperkuat peran Indonesia di masa depan sebagai pusat ekonomi regional. (ID)