Hak-hak penyandang disabilitas di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ternyata masih belum terpenuhi dengan baik. Hal tersebut tercermin dalam beberapa hal yakni pada bidang medis/kesehatan, pendidikan, aksesibilitas, hukum, habilitasi dan rehabilitasi, pekerjaan, partisipasi dalam kehidupan politik dan publik, serta perolehan jaminan sosial terkait disabilitas. Terlebih lagi dalam bidang kebijakan. Kebijakan pemerintah yang saat ini ada belum sepenuhnya mendukung penguatan pemenuhan hak-hak asasi bagi penyandang disabilitas. Akibatnya, penyandang disabilitas ini masih dilihat sebagai masalah, bahkan ada juga yang memandangnya lebih dari sekedar masalah.
Demikian disampaikan Koordinator ILAI, Winarta saat menjadi narasumber dalam seminar Hasil Kajian Permasalahan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas di Tingkat Kabupaten di Provinsi DIY. Seminar ini diselenggarakan oleh Forum Penguatan Hak-Hak Penyandang Disabilitas (FPHPD), yang merupakan kerjasama Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah, CIQAL dan ILAI. Seminar ini dihadiri oleh penyandang disabilitas se-DIY dan bertempat di ruang seminar lantai 4 Gedung Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Kampus Terpadu UMY.
Winarta menjelaskan, masih banyak permasalahan yang dialami oleh penyandang disabilitas pada sembilan bidang tersebut. Ia mencontohkan, pada bidang aksesibiltas, jalan, bangunan dan transportasi yang ada masih belum ramah terhadap penyandang disabilitas dan belum meratanya akses informasi untuk penyandang disabilitas. “Kemudian pada bidang medis, belum semua penyandang disabilitas mendapatkan jaminan kesehatan gratis, belum semua layanan kesehatan yang dibutuhkan mereka tersedia, seperti phisioterapi, obat untuk penyandang gangguan jiwa, dan home care. Selain itu pula, masih adanya diskriminasi dalam ketentuan kepesertaan asuransi kesehatan dan asuransi jiwa,” paparnya.
Sementara pada pengakuan atas persamaan di muka hukum, para penyandang disabilitas tersebut lanjut Winarta juga masih mengalami kesenjangan dibandingkan dengan orang pada umumnya. Pada permasalahan hukum ini, banyak kasus yang menimpa penyandang disabilitas tapi mereka tidak bisa bersaksi di muka hukum. Padahal saat itu posisi mereka sebagai korban. “Misalkan mereka menjadi korban kekerasan seksual, mereka tidak bisa bersaksi di muka umum. Selain itu, masih ada masalah lain yang mereka hadapi karena kesulitan berinteraksi dengan dunia luar, bahkan ada pula dari mereka yang masih dipasung,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Dr. Arni Surwanti, Msi, Koordinator FPHPD. Menurutnya, situasi yang dihadapi penyandang disabilitas memang masih memprihatinkan. Di DIY saja ada lebih dari 40 persen penyandang disabilitas yang belum dapat menikmati pendidikan, dan baru sekitar 20 persen dari mereka yang bekerja. Situasi ini ternyata menurutnya tidak lepas dari pandangan kuat di masa lalu bahwa penyandang disabilitas adalah persoalan medis semata (orang sakit) dan pendekatan yang diperlukan adalah belas kasihan.
“Akibatnya program pemerintah cenderung hanya berupa kegiatan pemberian bantuan-bantuan kebutuhan hidup. Sementara kegiatan untuk memberdayakan mereka sangat minim dan terbatas pilihannya. Penyandang disabilitas juga sulit mengakses hak yang sama dengan warga negara lainnya dan terpinggirkan perannya di masyarakat karena kurangnya dukungan kebijakan pemerintah,” jelasnya.
Karena itulah, keduanya berharap ke depannya para penyandang disabilitas ini bisa bebas dari penyikasaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat mereka sebagai manusia. “Namun untuk mewujudkan hal tersebut juga perlu diatur dalam peraturan daerah (Perda) yang segala kebijakannya harus berpihak pada mereka. Dan bisa memberikan kesejahteraan pada para penyandang disabilitas,” ungkapnya.