Untuk menjaga kualitas sebuah fasilitas pelayanan publik, evaluasi diperlukan agar kualitas fasilitas terkait dapat selalu dipertahankan dan juga ditingkatkan. Untuk institusi Rumah Sakit (RS), evaluasi tersebut dapat dilakukan melalui Akreditasi RS. Ini dilaksanakan untuk menilai kepatuhan rumah sakit terhadap standar akreditasi yang ditetapkan untuk menjaga kualitas performa dari sebuah RS. Pada awal Januari 2018, Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) sudah memberikan ketentuan baru yang perlu diterapkan yaitu Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) Edisi 1.
Agar rumah sakit mampu menyesuaikan kinerjanya dengan ketetapan yang baru, HAMMERS (Himpunan Alumni Magister RS) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) mengadakan Lokakarya Nasional Kajian Persiapan RS Untuk SARS 1. Lokakarya yang dilaksanakan pada hari Jumat (19/1) di Hotel Sahid Jaya, Babarsari tersebut berlangsung selama 2 hari, Jum’at hingga Sabtu (19-20/1).
dr. Safiqulatif Abdullah, MMR selaku ketua penyelenggara lokakarya ilmiah tersebut menyampaikan bahwa akreditasi ini merupakan ketetapan yang sudah diatur oleh negara. “Berdasarkan instruksi negara seluruh rumah sakit harus terakreditasi, untuk itu kemudian dibentuk KARS. Badan ini yang menetapkan standarisasi yang dijadikan patokan bagi RS di Indonesia. Dan untuk tahun 2018 ini sudah dibentuk regulasi baru untuk menyempurnakan ketentuan yang sudah ada sebelumnya. Lokakarya yang kita selenggarakan ini adalah bentuk sosialisasi untuk RS agar mereka dapat mempersiapkan diri dengan berbagai standar baru yang ditetapkan tersebut. Ini juga untuk menjamin mutu dari manajemen RS dan juga pelayanan yang diberikan kepada pasien,” ungkap Safiqulatif, saat ditemui di sela-sela acara pada Jum’at (19/1).
Safiqulatif menyebutkan secara garis besar ada 2 aspek yang dinilai dalam akreditasi RS yaitu manajemen dan layanan. “Aspek manajemen misalnya mulai dari fungsi direksi hingga pengelolaan harian dari kegiatan yang ada di RS. Sedangkan aspek layanan dinilai dari bagaimana tenaga medis memberikan pelayanan kepada pasien. Hal-hal tersebut akan dinilai dari dokumen-dokumen rekam medis yang dimiliki RS terkait, dan untuk mempertanggungjawabkan kebenaran dokumen tersebut akan dilakukan pembuktian. Bisa dengan melakukan wawancara kepada petugas medis, mengenai apakah pelaksanaan medis yang dilakukan sudah sesuai prosedur atau belum. Pembuktian tersebut juga dapat ditelusuri hingga kepada pasien,” jelasnya.
Menurut Safiqulatif, penerapan akreditasi ini penting karena kondisi manajemen dan pelayanan di RS yang ada di Indonesia sangat variatif. “Ketika kita membandingkan kualitas dari RS yang ada, misal yang berada di ibukota dan yang pelosok, maka akan muncul selisih yang sangat besar. Harapannya dengan adanya ketentuan akreditasi ini, kualitas dari RS yang ada di Indonesia dapat di standarisasi. Kalau bisa semuanya paripurna, baik dari segi manajemen RS hingga pelayanan kepada pasien.
Diharapkan lokakarya ini mampu membuka dan memberikan wawasan yang baru bagi pemangku kebijakan di RS mengenai aturan standarisasi yang diterapkan oleh negara secara menyeluruh. “Terlebih kepada RS kecil yang jauh dari kawasan ibukota, karena sebenarnya sosialisasi ini juga dilakukan oleh KARS setiap tahunnya namun dengan biaya yang cukup tinggi. Kami harap lokakarya ini dapat menjadi alternatif dengan biaya lebih terjangkau,” tutupnya. (raditia)