Berita

HI UMY Adakan Diseminasi Riset Diplomasi Penanganan PMI Bahrain

Berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 260/2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan, pemerintah Indonesia secara resmi telah menghentikan dan melarang penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) pada pengguna perseorangan ke negara-negara di kawasan Timur Tengah sejak Februari 2015. Namun ternyata usaha pengiriman PMI secara ilegal masih tetap berlangsung, contohnya kasus yang digagalkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan pada awal 2018 lalu dimana salah satu negara yang menjadi tujuan adalah Bahrain. Sehubungan dengan fenomena tersebut, Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menyelenggarakan diseminasi hasil riset oleh tim riset Dosen dan Mahasiswa HI UMY tentang Diplomasi Penanganan PMI di Bahrain pada hari Sabtu (20/10), di Ruang Seminar Gedung Kasman Singodimedjo UMY.

Kegiatan tersebut merupakan tindak lanjut dari kunjungan ke Bahrain pada 21-29 September lalu. Penelitian tersebut dilakukan oleh tim yang terdiri dari 2 orang dosen HI UMY yaitu Ratih Herningtyas, S.IP., M.A. dan Ade Marup Wirasenjaya, S.IP., M.A., serta 2 orang mahasiswa HI UMY yaitu Amalia Putri Utami (20150510073) dan Heriawan (20150510093).

Dalam Seminar tersebut, Duta Besar Indonesia untuk Bahrain, Nur Syahrir Rahardjo menyampaikan bahwa praktik pengiriman PMI ilegal ke Bahrain cenderung meningkat. “Walaupun Pemerintah RI telah melaksanakan kebijakan moratorium pengiriman PMI yang bekerja sebagai Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT) ke semua negara Timur Tengah, termasuk Bahrain, namun hingga kini masih banyak terjadi pengiriman yang dilakukan tanpa prosedur. Malah terjadi kecenderungan bahwa angkanya akan meningkat, dimana saat ini ada sebanyak 4.547 orang yang bekerja dalam sektor tersebut. Angka tersebut didominasi oleh wanita yang cenderung mengalami kekerasan dalam pekerjaan,” ujarnya.

Menurut Nur, peningkatan tersebut dikarenakan adanya push dan pull factor dari kedua negara. “Dari dalam negeri sendiri; permasalahan ekonomi; tingkat pendidikan rata-rata yang relatif rendah; keterbatasan lapangan pekerjaan; menjadi beberapa penyebab yang mendorong mereka bekerja keluar. Faktor seperti adanya agen yang menjadi penyalur serta kurangnya kepedulian suami/orang tua juga menjadi alasan yang mendorong para wanita tersebut menjadi PLRT. Kemudian yang menjadi Pull Factor adalah faktor seperti ; demand yang besar datang dari Bahrain untuk PLRT; tingkat kemakmuran dan gaya hidup negara tujuan; serta peran dari WNI yang bekerja pada agensi penyalur PLRT,” ungkapnya.

Alasan mengapa pengiriman PMI tetap dilakukan pasca moratorium dijelaskan oleh Ratih terjadi akibat beberapa hal. “Pasca moratorium, pemerintah Bahrain masih menerbitkan Visa Kerja bagi WNI yang bekerja di sektor yang non-formal, dimana hal tersebut tidak inline dengan kebijakan pemerintah Indonesia. Ini disebabkan oleh beberapa hal, pertama ada budaya di kalangan warga Bahrain yang menilai bahwa memiliki PLRT merupakan sesuatu yang prestise. Dampaknya warga bergantung pada PLRT dan mendesak pemerintah. Kedua, adanya tekanan dari kelompok bisnis (agensi) yang khawatir kehilangan mata pencahariannya, karena keuntungan dari operasi ilegal tersebut sangat menggiurkan,” jelasnya.

Lebih lanjut, Ratih menyampaikan bahwa pasca moratorium penanganan terhadap PMI bermasalah akan lebih sukar. “Sebelum moratorium diberlakukan, semua dilakukan dengan formal, berbagai dokumen yang dibutuhkan sudah disiapkan dan dilegalisasi sebelum keberangkatan PMI, sehingga jumlah PMI bisa didata dan terkontrol. Kontrak kerja pun jelas ada dan diketahui lembaga ketenagakerjaan. Namun setelah moratorium diberlakukan, banyak terjadi pemalsuan dokumen sehingga banyak sekali yang masuk tanpa terdata oleh pemerintah Indonesia. Juga banyak sekali yang tidak memiliki kontrak yang jelas, kalaupun ada hanya antara agensi dan PMI yang seringkali mereka sendiri tidak paham isi dari kontraknya,” papar Ratih.

“Hasilnya, apabila PMI tersebut mengalami masalah, agensi lepas tangan dan melemparkannya ke KBRI. Padahal KBRI sendiri tidak bisa berbuat banyak apabila PMI tersebut masuk tanpa kontrak. Sulit melakukan mitigasi untuk mencegah atau menyelesaikan masalah, sehingga alternatif penyelesaian yang diambil hanya bisa melalui mediasi atau pengadilan, dimana seringkali mengorbankan hak PMI yang belum dipenuhi oleh majikannya,” lanjut Ratih.

Dalam kesempatan tersebut, Ratih juga menyampaikan beberapa masukan yang disusun oleh tim peneliti untuk mencegah hal tersebut berulang. “Agar PMI tidak lagi bermasalah ketika mereka bekerja, pendidikan dan pelatihan perlu dijalankan agar mereka memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan dan berkomunikasi dengan baik. Untuk para pekerja yang bermasalah ataupun berpotensi bermasalah, dapat dilakukan penundaan layanan bagi PMI tesebut jika mengajukan paspor lagi. Diharapkan ada pengecekan yang lebih teliti untuk mencegah dikirimkan ke luar negeri secara ilegal. Memberi stempel sekali jalan di paspor PMI bermasalah, shg setelah sampai di Indonesia paspor tersebut tidak bisa digunakan lagi,” tutupnya. (raditia)