Berita

Hikmah Berpuasa Sebagai Pemenuhan Keseimbangan Hidup Melalui Sikap Tengahan

Satu bulan berpuasa selama Ramadan menjadi momentum bagi umat Islam dalam membangun sikap hidup yang tidak berlebihan. Memiliki kesadaran untuk bersikap “tengahan” atau secukupnya dipandang oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si. sebagai bentuk keseimbangan hidup, baik itu antara ruhani dan jasmani, jiwa dan fisik, hingga dunia dan akhirat. Sebagaimana yang disampaikan oleh Haedar dalam Khutbah Idul Fitri pada Rabu (10/4), seluruh keseimbangan tersebut akan terbangun melalui sikap hidup yang secukupnya secara utuh serta bermakna, dan makna tersebutlah yang membedakan hidup manusia bermartabat mulia dengan makhluk lainnya.

Haedar yang menjadi Khatib dalam agenda salat Idul Fitri berjamaah yang digelar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), tepatnya di Lapangan Bintang menyampaikan bahwa ada banyak kejadian berupa masalah dan penyakit dalam kehidupan manusia yang seringkali terjadi karena sikap berlebihan, rakus dan melampaui batas. Menurutnya, hal-hal yang terkait dengan penyimpangan maupun penyalahgunaan kekuasaan seperti konflik dan praktik korupsi maupun prahara lainnya dalam kehidupan berbangsa sering terjadi karena mengikuti nafsu menguasai kepentingan yang berlebihan.

“Kerakusan dalam meraih keuntungan sebanyak-banyaknya dapat menimbulkan banyak masalah dan berdampak ke berbagai sektor seperti ekonomi. Timbullah ketimpangan relasi pasar, kegemaran mengimpor, dominasi kekayaan oleh segelintir individu, kesenjangan sosial, hingga konglomerasi yang merusak sistem ekonomi bangsa. Dalam aspek sosial di masyarakat, segala bentuk kekerasan, kriminalitas dan masalah sosial lain pun sering terjadi karena hasrat untuk memenuhi keinginannya melebihi takaran yang semestinya,” ujar Haedar.

Guru besar UMY di bidang ilmu sosiologi ini pun menekankan bahaya yang dapat timbul dengan didasari oleh nafsu yang melampaui batas, yang cenderung berakhir kepada menghalalkan segala cara dalam berkontestasi di kehidupan. Baik dalam skala kecil maupun besar, hasil yang berupa menang maupun kalah, Haedar menyampaikan bahwa jika tidak memiliki konsep secukupnya maka seseorang tidak dapat memiliki rasa syukur atas kemenangan maupun sikap tawakal atas kekalahan. Inilah yang menurutnya dapat menimbulkan banyak masalah seperti saling benci dan permusuhan yang keras dalam hubungan antar-manusia.

“Pada hakikatnya, puasa bermakna bahwa setiap orang beriman harus memiliki ketahanan diri yang kokoh dari segala urusan duniawi yang berlebihan. Harta, kedudukan, kekuasaan, dan hal-hal inderawi lain yang serba menyenangkan manusia harus dipenuhi dengan baik namun juga tetap secukupnya dan tidak melampaui batas,” imbuhnya.

Haedar juga berpesan bahwa Allah telah berfirman dan Nabi telah bersabda agar setiap umat Islam cukup seperlunya saja dalam makan, minum serta pemenuhan biologis. Makna yang lebih luas adalah untuk hidup secukupnya dan tidak berlebihan dalam urusan dunia. Ia mengingatkan seluruh jamaah salat Idul Fitri untuk memenuhi semua kebutuhan hidup secara tengahan dan tidak berlebihan.

“Islam mengajarkan kita untuk hidup cukup atas hasil ikhtiar yang halal dan baik, serta menjauhi segala hal yang melampaui batas. Sikap ekstrem yang mengarah kepada hal yang berlebihan, maupun mengurang-ngurangkan tidak dibenarkan oleh ajaran Islam. Pun sama halnya ketika ingin saling mengingatkan dalam kebaikan, harus dengan cara yang baik melalui edukasi dan tidak merasa paling benar sendiri sehingga dapat sejalan dengan pendekatan dakwah yang diajarkan dalam Islam,” pungkasnya. (ID)