Dunia akademis Indonesia kembali mendapatkan tamparan keras. Terkuaknya kasus plagiat yang dilakukan oleh seorang Profesor Universitas Parahyangan, Bandung pada beberapa tulisannya di media massa beberapa waktu lalu tak pelak mengejutkan banyak pihak.
Dengan terungkapnya kasus ini, maka mau tidak mau, lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi harus memikirkan lagi bagaimana caranya menghilangkan budaya plagiarisme di institusi pendidikan mereka. Seharusnya aturan yang ketat dan sanksi yang keras bagi mereka yang melanggar etika tentang plagiarisme ini, hilangkan budaya permisif dan kompromistis dalam dunia akademis.
Dr.Eng. Agus Setyo Muntohar, S.T., MEng.Sc, Sekretaris Senat Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menyampaikan pandangannya dalam diskusi di Kampus Terpadu UMY, Kamis (11/02).
Ia mencontohkan budaya akademis di Negara-negara seperti Malaysia, Taiwan, dan beberapa Negara lainnya. Disana, jika seseorang diketahui melakukan praktek plagiat, tanpa kompromi, ia akan langsung di Drop Out (DO). Berbeda dengan budaya akademis di Indonesia yang masih sangat permisif dan kompromistis.
Terkait kasus plagiat yang muncul saat ini, Agus mengatakan bahwa ia merasa sedih dan luar biasa terkejut begitu mendengar tentang kasus tersebut. “Saya sedih atas adanya kasus tersebut. Ini adalah tamparan keras bagi dunia pendidikan Indonesia. Ini harus dijadikan instropeksi ke setiap lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi, bahwa tiap lembaga harus melakukan sensor ketat terhadap setiap karya tulis yang dihasilkan oleh setiap sivitas akademika, baik dosen maupun mahasiswa, baik untuk jurnal ilmiah ataupun dikirim ke media massa,” ujar Agus.
Namun yang harus dilakukan pertama kali menurut Agus adalah menyamakan persepsi tentang apa dan bagaimana plagiat itu.
“Hingga kini definisi plagiat masih diperdebatkan, maka harus disamakan persepsinya. Apa dan bagaimana yang disebut sebagai praktek plagiarisme tersebut. Banyak pandangan tentang plagiarisme. Ada salah satunya berbunyi, Plagiarisme adalah penggunaan gagasan, pendapat, atau karya orang lain tanpa mengakui sumbernya pada karya tulis tersebut. Bahkan masih berbentuk gagasan pun bisa digolongkan plagiat,” tuturnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sendiri, pla·gi·at diartikan sebagai pengambilan karangan (pendapat, dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat, dan sebagainya) sendiri. Misal, menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri atau jiplakan. Sedangkan pla·gi·a·ris·me adalah penjiplakan yg melanggar hak cipta.
“Yang jelas, plagiarisme adalah tindakan tercela, itu adalah kejahatan akademik. Tiap tulisan seharusnya disensor, asli atau tidak tulisannya. Apalagi jika ia membawa nama institusi,” tambah Agus.
Agus menyarankan untuk dibentuk Dewan Kode Etik atau Majelis Kehormatan Etika atau semacamnya di setiap perguruan tinggi, yang salah satu fungsinya adalah untuk mengawasi praktek plagiat ini. Di sebagian perguruan tinggi memang sudah ada, namun sayangnya, hanya berfungsi jika ada kasus semata. Padahal, proses membudayakan anti plagiarisme ini harus terus dilakukan secara berkelanjutan.
“Seharusnya yang dilakukan adalah upaya-upaya preventif atau pencegahan. Jadi, sebelum kasus tersebut terjadi, sudah diupayakan pencegahannya. Harus dibuat aturan dan tata cara penelitian, penulisan, pengutipan, dan lain sebagainya. Tata cara tersebut harus tersosialisasikan dengan baik ke seluruh sivitas akademika. Jangan bertindak hanya ketika ada kasus saja,” tegas Agus.
Budaya plagiarisme ini memang sangat terkait dengan dua hal, kejujuran dan tanggung jawab moral tiap individu. Terlebih seorang dosen. Dosen itu tidak boleh bohong dan tidak boleh salah. Institusi pendidikan harus dibangun suasana akademiknya.
Suasana akademik yang rendah di sebuah lembaga pendidikan akan membuat plagiarisme tumbuh subur. Sebaliknya, dalam suasana akademik yang tinggi, tingkat plagiarisme akan rendah. Agus menyatakan bahwa plagiarisme paling tumbuh subur di jenjang pendidikan strata satu, terutama pada saat pembuatan tugas akhir atau skripsi.
Menurut Agus, untuk menghindari plagiarisme, yang terbaik adalah jika kita menulis, maka gunakanlah parafrasa. Menulislah dengan bahasa sendiri. Jika ada kutipan, jangan sampai lupa untuk mencantumkan darimana sumbernya.
Ia juga menyayangkan adanya dosen yang tidak fokus pada bidangnya. Padahal yang seperti ini akan rentan plagiarisme, terutama masalah ide atau gagasan, karena itu bukan bidangnya. “Akan jauh lebih baik jika seorang dosen fokus pada bidang keahliannya saja. Tidak perlu lihat kanan kiri. Jadi semisal ia adalah dosen di bidang Geofisika, ya penelitian, atau tulisan-tulisan yang ia buat harus di bidang geofisika saja, tidak usah merembet ke bidang lain yang bukan keahliannya,” imbuh Agus.Dunia akademis Indonesia kembali mendapatkan tamparan keras. Terkuaknya kasus plagiat yang dilakukan oleh seorang Profesor Universitas Parahyangan, Bandung pada beberapa tulisannya di media massa beberapa waktu lalu tak pelak mengejutkan banyak pihak.
Dengan terungkapnya kasus ini, maka mau tidak mau, lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi harus memikirkan lagi bagaimana caranya menghilangkan budaya plagiarisme di institusi pendidikan mereka. Seharusnya aturan yang ketat dan sanksi yang keras bagi mereka yang melanggar etika tentang plagiarisme ini, hilangkan budaya permisif dan kompromistis dalam dunia akademis.
Dr.Eng. Agus Setyo Muntohar, S.T., MEng.Sc, Sekretaris Senat Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menyampaikan pandangannya dalam diskusi di Kampus Terpadu UMY, Kamis (11/02).
Ia mencontohkan budaya akademis di Negara-negara seperti Malaysia, Taiwan, dan beberapa Negara lainnya. Disana, jika seseorang diketahui melakukan praktek plagiat, tanpa kompromi, ia akan langsung di Drop Out (DO). Berbeda dengan budaya akademis di Indonesia yang masih sangat permisif dan kompromistis.
Terkait kasus plagiat yang muncul saat ini, Agus mengatakan bahwa ia merasa sedih dan luar biasa terkejut begitu mendengar tentang kasus tersebut. “Saya sedih atas adanya kasus tersebut. Ini adalah tamparan keras bagi dunia pendidikan Indonesia. Ini harus dijadikan instropeksi ke setiap lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi, bahwa tiap lembaga harus melakukan sensor ketat terhadap setiap karya tulis yang dihasilkan oleh setiap sivitas akademika, baik dosen maupun mahasiswa, baik untuk jurnal ilmiah ataupun dikirim ke media massa,” ujar Agus.
Namun yang harus dilakukan pertama kali menurut Agus adalah menyamakan persepsi tentang apa dan bagaimana plagiat itu.
“Hingga kini definisi plagiat masih diperdebatkan, maka harus disamakan persepsinya. Apa dan bagaimana yang disebut sebagai praktek plagiarisme tersebut. Banyak pandangan tentang plagiarisme. Ada salah satunya berbunyi, Plagiarisme adalah penggunaan gagasan, pendapat, atau karya orang lain tanpa mengakui sumbernya pada karya tulis tersebut. Bahkan masih berbentuk gagasan pun bisa digolongkan plagiat,” tuturnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sendiri, pla·gi·at diartikan sebagai pengambilan karangan (pendapat, dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat, dan sebagainya) sendiri. Misal, menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri atau jiplakan. Sedangkan pla·gi·a·ris·me adalah penjiplakan yg melanggar hak cipta.
“Yang jelas, plagiarisme adalah tindakan tercela, itu adalah kejahatan akademik. Tiap tulisan seharusnya disensor, asli atau tidak tulisannya. Apalagi jika ia membawa nama institusi,” tambah Agus.
Agus menyarankan untuk dibentuk Dewan Kode Etik atau Majelis Kehormatan Etika atau semacamnya di setiap perguruan tinggi, yang salah satu fungsinya adalah untuk mengawasi praktek plagiat ini. Di sebagian perguruan tinggi memang sudah ada, namun sayangnya, hanya berfungsi jika ada kasus semata. Padahal, proses membudayakan anti plagiarisme ini harus terus dilakukan secara berkelanjutan..
“Seharusnya yang dilakukan adalah upaya-upaya preventif atau pencegahan. Jadi, sebelum kasus tersebut terjadi, sudah diupayakan pencegahannya. Harus dibuat aturan dan tata cara penelitian, penulisan, pengutipan, dan lain sebagainya. Tata cara tersebut harus tersosialisasikan dengan baik ke seluruh sivitas akademika. Jangan bertindak hanya ketika ada kasus saja,” tegas Agus.
Budaya plagiarisme ini memang sangat terkait dengan dua hal, kejujuran dan tanggung jawab moral tiap individu. Terlebih seorang dosen. Dosen itu tidak boleh bohong dan tidak boleh salah. Institusi pendidikan harus dibangun suasana akademiknya.
Suasana akademik yang rendah di sebuah lembaga pendidikan akan membuat plagiarisme tumbuh subur. Sebaliknya, dalam suasana akademik yang tinggi, tingkat plagiarisme akan rendah. Agus menyatakan bahwa plagiarisme paling tumbuh subur di jenjang pendidikan strata satu, terutama pada saat pembuatan tugas akhir atau skripsi.
Menurut Agus, untuk menghindari plagiarisme, yang terbaik adalah jika kita menulis, maka gunakanlah parafrasa. Menulislah dengan bahasa sendiri. Jika ada kutipan, jangan sampai lupa untuk mencantumkan darimana sumbernya.
Ia juga menyayangkan adanya dosen yang tidak fokus pada bidangnya. Padahal yang seperti ini akan rentan plagiarisme, terutama masalah ide atau gagasan, karena itu bukan bidangnya. “Akan jauh lebih baik jika seorang dosen fokus pada bidang keahliannya saja. Tidak perlu lihat kanan kiri. Jadi semisal ia adalah dosen di bidang Geofisika, ya penelitian, atau tulisan-tulisan yang ia buat harus di bidang geofisika saja, tidak usah merembet ke bidang lain yang bukan keahliannya,” imbuh Agus.