Menjelang terselenggaranya ASEAN Economic Comunity (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), negara Indonesia harus segera memikirkan cara lain untuk tidak terus menerus berpegang pada impor, khususnya untuk masalah pangan. Sebab ketersediaan lahan untuk pertanian di dunia akan terus menurun. Sementara di sisi lain, pertumbuhan penduduk di seluruh dunia justru meningkat. Belum lagi dengan masalah perubahan iklim yang tidak menentu dan menganggu produktivitas pertanian.
Untuk itulah Dewan Pembina Perhimpunan Holtikultura Indonesia (PERHOTI) Prof. Dr. Ir. Roedhy Poerwanto, Msc dan Pengamat Nasional Dr. Ichsanuddin Noorsy, Bsc, SH, Msi sepakat untuk tidak menjadikan impor pangan sebagai solusi dari mempertahankan pangan Indonesia dalam menghadapai MEA 2015. Sebab menurut keduanya, impor pangan itu tidak akan bisa bertahan lama dalam memberikan kesejahteraan rakyat Indonesia. Selain itu, masih ada solusi lain selain melakukan impor, yakni menurunkan kebutuhan konsumsi beras dan menggantinya dengan bahan makanan lokal yang diolah secara modern.
Hal tersebut disampaikan keduanya saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional “Kemandirian Pangan Indonesia Menyongsong ASEAN Economic Community (AEC) 2015”. Acara yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini dilaksanakan di ruang sidang utama AR. Fachruddin B lantai 5 Kampus Terpadu UMY, Sabtu (18/4). Selain Prof. Dr. Ir. Roedhy Poerwanto, Msc dan Dr. Ichsanuddin Noorsy, Bsc, SH, Msi, turut hadir pula sebagai pembicara yakni Ir. Agus Supriatna Somantri, Msc selaku perwakilan dari Balai Penelitian dan Pengembangan (Balidbang) Pascapanen Pertanian, Kementerian Pertanian Republik Indonesia, serta Muhammad Yani, SH., MM selaku Sub Devisi Impor Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan RI.
Dalam pemaparannya, Prof. Roedhy mengatakan, dari segi luas tanam padi, Indonesia merupakan negara terluas ketiga di dunia setelah India dan China. Tapi produktivitas (daya produksi) padinya berada di nomor lima di dunia, posisi Indonesia ini di tingkat ASEAN masih kalah dengan Vietnam. Kemudian dari segi produksinya, Indonesia menempati posisi ketiga di dunia. “Namun kenapa Indonesia masih melakukan impor beras? Ini karena kita yang makan nasi terlalu banyak. Di Indonesia saat ini, satu orang menghabiskan 125 kg beras pertahunnya. Padahal di Malaysia saja, satu orangnya hanya menghabiskan 80 kg pertahunnya. Itulah kenapa kita masih kekurangan dalam hal pangan ini, terutama ketersediaan beras. Sementara kalau ingin tambah luas area lagi sudah tidak bisa,” paparnya.
Karena itu, menurut Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) ini swasembada pangan tetap dibutuhkan dan harus dilakukan untuk ketahanan pangan Indonesia. Ia pun tidak sepakat jika Indonesia harus mengikuti saran dari Organisasi Untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD – Organisation for Economic Co-operation and Development) yang lebih mengarahkan Indonesia untuk melakukan impor pangan. “Karena tidak selamanya kita akan bisa bertahan dengan impor. Perubahan iklim dan populasi penduduk di seluruh dunia yang akan terus meningkat tidak akan bisa menjadikan impor pangan sebagai solusi di negeri kita. Jadi lebih baik Indonesia tetap melakukan swasembada pangan. Selain itu juga menurunkan konsumsi nasi dan menggantinya dengan bahan pangan lokal lainnya, yang sudah diolah secara modern dan lebih bergengsi dari beras,” jelasnya.
Hal senada pun diungkapkan Dr Ichsanuddin, menurutnya memenuhi kebutuhan pangan dengan jalur impor adalah salah satu jalur yang paling rapuh dan rentan untuk melahirkan inflasi di Indonesia. Jadi menurutnya, jika ada negara lain yang ingin menguasai Indonesia, kemudian diserang dari sisi impor ini maka Indonesia bisa bertekuk lutut. Karena itu menurutnya Indonesia tak perlu lagi berpegang pada impor dalam memenuhi kebutuhan pangannya.
Kemudian, lanjut Ichsanuddin lagi, jika Indonesia ingin menghadapi MEA 2015, dari segi pangan pun harus diperkuat. Karena menurutnya, dari segi ketahanan pangan saja Indonesia masih kalah untuk tingkat ASEAN. Selain itu juga, Indonesia harus menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni dan ahli dalam bidang pertanian, serta memperbaiki tata ruang regional. “Tapi yang lebih penting dari itu adalah semangat dari para penyelenggara negaranya. Jangan hanya bekerja untuk memperkaya dirinya sendiri dan berkhianat pada rakyat dan negaranya,” tegasnya.
Solusi lain juga disampaikan oleh Ir. Agus Supriatna Somantri. Menurutnya, untuk menghadapi MEA 2015 para petani juga perlu dibekali dengan penguasaan pertanian berbasis teknologi. Karena pergantian musim juga sudah tidak jelas dan akan menyulitkan petani jika mereka masih terus bertani dengan mengandalkan pergantian musim. Selain itu, mereka juga harus bisa menggunakan aplikasi teknologi informasi. “Jangan hanya sibuk di produksi tapi juga perlu melakukan hal lebih lainnya agar bisa memiliki daya saing dengan orang lain, terutama orang luar. Karena itu dibutuhkan pula SDM yang baik dan kompeten yang lahir dari para mahasiswa ini untuk bisa melahirkan ide-ide besar, bagaimana kita bisa keluar dari permasalahan pangan ini di masa depan,” ujarnya.
Sementara itu, Muhammad Yani, SH., MM menjelaskan jika untuk bahan-bahan pangan yang diimpor tersebut adalah bahan-bahan yang digunakan untuk kebutuhan khusus. Ia menyebutkan jika beras yang diimpor adalah beras jenis kepecahan paling tinggi 25 persen yang diperuntukkan untuk keperluan stabilisasi harga, penanggulangan keadaan darurat, masyarakat miskin dan kerawanan pangan. “Kemudian untuk beras jenis Japonica, Basmati, Thai Hom Mali, Kukus, Ketan utuh, beras pecah 100 persen, dan beras ketan pecah 100 persen digunakan untuk keperluan tertentu seperti kesehatan/dietary, konsumsi khusus/segmen tertentu dan untuk keperluan industri. Jadi tidak semua jenis beras yang diimpor, hanya jenis-jenis bahan pangan tertentu yang diimpor yang tidak bisa diproduksi sendiri,” jelasnya.