Berita

Indonesia Butuh Revolusi dan Ekoliterasi Energi

IMG_3261Rusaknya lingkungan dan perubahan iklim di dunia menjadi masalah terbesar yang dihadapi umat manusia saat ini. Puncak degradasi bumi akibat hubungan tidak harmonis antara manusia dengan alam, selain itu pola produksi, konsumsi dan produksi limbah tidak berkelanjutan. Contohnya saja terkait dengan penyebaran sampah plastik di laut yang dapat mencapai 8 milyar per tahunnya, dan Indonesia merupakan negara penyumbang sampah plastik nomor dua di dunia setelah Cina. Hal tersebut terjadi karena kurang pedulinya masyarakat Indonesia akan dampak yang akan ditimbulkan dari pembuangan sampah plastik di laut tersebut kedepannya bagi lingkungan.

Selain itu, pemanfaatan energi terbarukan untuk saat ini seharusnya sudah menjadi perhatian pemerintah, tidak hanya revolusi mental, pemerintah turut pula melakukan revolusi energi dan juga ekoliterasi energi kepada masyarakat, jika dilihat saja tambang batu bara di Indonesia semakin tinggi, padahal batu bara merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dan memiliki dampak yang cukup besar terhadap ekosistem dan juga lingkungan. Hal tersebut diungkapkan Longgena Ginting, selaku Kepala Greenpeace Indonesia dalam acara Seminar Environment yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Senin (29/2) bertempat di Gedung Ar Fachrudin B lantai 5 kampus terpadu UMY.

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil emisi gas rumah kaca utama di dunia, hal tersebut terjadi akibat kerusakan hutan dan paling rentan terhadap perubahan iklim. “Hutan hujan tropis dibabat menjadi monokultur untuk komoditas ekspor, dan Indonesia mengimpor pangan dari negara lain, kita mengalami krisis energi dan energi terbarukan,”ungkap Longgena.

Ditambahkan oleh Longgena, berbagai cara dapat dilakukan untuk revolusi energi dalam hal melakukan energi terbarukan, diantaranya yaitu mempertahankan tanah, hutan, dan keanekaragaman hayati dengan pemanfaatan berkelanjutan dengan prioritas menghasilkan pangan, memastikan produksi enerji tidak mengalahkan kepentingan pangan, dalam hal ini kita perlu menghentikan eksplorasi dan eksploitasi bahan bakar berbasis karbon (fosil), seperti minyak, batu bara dan gas, dan menginvestasikannya kepada pengembangan enerji bersih terbarukan. “Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat Indonesia mendorong kedaulatan pangan dan enerji dengan prinsip pertanian ekologis dan didasarkan kebutuhan masyarakat lokal serta ekonomi nasional, kita harus menggantikan model pembangunan yang tidak berkelanjutan dan memarginalkan masyarakat adat dan lokal, sebagai salah satu dari penyebab utama perubahan iklim,”tambahnya.

Terlepas dari revolusi energi, dibutuhkan pula Eco-liteacy (melek lingkungan) bagi masyarakat, hal ini bermanfaat dalam komponen pendidikan lingkungan bagi masyarakat. Tujuan dari ekoliterasi tersebut seperti diungkapkan oleh Dr. Rahmawati Husein, selaku dosen UMY yaitu untuk memperlambat perubahan lingkungan dan konsekuensinya secara keilmuan, psikologis dan sosial yang dapat ditentukan, selain itu membentuk masyarakat yang sadar lingkungan dan dapat memecahkan masalah lingkungan. “Konsep ekoliterasi bertujuan agar terjadi perubahan nyata dari masyarakat, tidak hanya wacana,” ungkapnya.

Ditambahkan oleh Rahmawati, dengan memahami konsep ekoliterasi diharapkan masyarakat dapat sadar bahwa alam di planet bumi ini merupakan hal yang harus dilestarikan dengan segala sifatnya yang kompleks, serta membentuk komunitas yang berkelanjutan yang menghargai nilai-nilai intrinsik alam semesta. “Masyarakat harus memiliki strategi dalam memiliki pola pandang baru atas realitas kehidupan bersama di planet bumi dan melakukan pembaruan-pembaruan yang diperlukan,” tambahnya.

Sementara itu, diungkapkan oleh Victor Rembeth selaku praktisi lingkungan hidup bahwa keberadaan lembaga usaha merupakan salah satu bagian dari permasalahan dampak lingkungan hidup, salah satunya dari jenis usaha tambang. Limbah tambang dapat mematikan masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar lokasi tambang, selain masyarakat, limbah tambang tersebut juga akan berdampak pada lingkungan. Sejauh ini, lembaga usaha hanya melihat ketangguhan perusahaan dalam mempertahankan usahanya, tidak melihat resiko yang timbul dari adanya kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. “Sejauh ini bentuk tanggung jawab lembaga usaha disalurkan melalui kegiatan CSR, namun kegiatan CSR tersebut hanya bertanggung jawab terhadap manusia saja, tidak kepada lingkungan yang telah dirusaknya,”ungkapnya.

Kembali ditambahkan oleh Victor, terdapat beberapa peran lembaga usaha berperan dalam keberlanjutan lingkungan, diantaranya diharapkan perusahaan memiliki peluang untuk memperbaiki diri dan menjadi kekuatan besar dalam memperbaiki arah pembangunan, perusahaan turut perlu mengubah cara beroperasinya, yaitu dengan menganut paradigma pembangunan berkelanjutan, CSR, termasuk aspek lingkungannya. “ISO 26000:2010 adalah standar tanggung jawab sosial yang komprehensif, dan penting untuk dipatuhi sepenuhnya oleh perusahaan, setidaknya menjadi panduan berpikir dalam beroperasi sebuah lembaga usaha,”tutupnya. (adam)