Pergeseran kepemimpinan dari Presiden Joko Widodo kepada Prabowo Subianto diprediksi akan membawa perubahan signifikan dalam tatanan ekonomi global dan kebijakan luar negeri Indonesia. Sebagaimana diketahui bersama bahwa di awal kepemimpinannya, Prabowo bahkan telah menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 8 persen. Namun hal berbeda ditunjukkan oleh IMF (International Monetary Fund), yang justru memprediksi angka pertumbuhan ekonomi Indonesia akan stagnan, hanya mencapai 5 persen, sama seperti tahun 2023.
Meski demikian, Prabowo tetap optimis, terutama setelah melakukan kunjungan ke beberapa negara besar seperti Amerika Serikat, Brasil, China, dan Inggris, di mana ia mengklaim berhasil membawa pulang oleh-oleh investasi sebesar 294,5 triliun rupiah. Klaim tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah investasi ini cukup untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia menuju angka 8 persen, atau ini hanya sebuah gimmick politik yang harus di dengarkan dan diamini masyarakat Indonesia? Hal ini pun menjadi pembahasan menarik dalam kegiatan seminar “Indonesian Outlook (Indonesia’s Foreign Policy In the Prabowo Era: Fostering Economic Growht Optimism Amid Global Conflicts) di Gedung AR Fahruddin B UMY lantai 5, pada Rabu, (8/1).
Prof. Faris Al-Fadhat, M.A., Ph.D., Guru Besar Ekonomi Politik Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) memandang, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar itu, Indonesia membutuhkan peningkatan yang signifikan dalam investasi dan perdagangan. Pemerintah perlu menawarkan beragam strategi untuk menarik lebih banyak investor menanamkan modalnya di Indonesia.
“Pemerintah perlu meningkatkan investasi asing dari sekitar 20-25 miliar USD saat ini, menjadi 50-85 miliar USD. Hal ini jelas merupakan tantangan besar, karena untuk mencapai target ini dalam waktu singkat, Indonesia harus menarik lebih banyak investasi asing,” kata Guru besar termuda UMY itu dalam acara tahunan prodi Hubungan Internasional UMY tersebut.
Namun, target pertumbuhan ekonomi 8 persen ini tentunya membawa berbagai konsekuensi. Salah satunya adalah meningkatnya tekanan domestik untuk meningkatkan pajak guna mendukung pencapaian tersebut. Hal ini juga berpotensi mempengaruhi stabilitas politik di Indonesia, karena peningkatan pajak bisa memicu ketidakpuasan publik.
Selain tantangan domestik, pemerintah Indonesia juga harus menghadapi tantangan besar dalam hubungannya dengan negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan China. Dalam konteks ini, menurut Faris, Indonesia perlu menjadi “teman baik” kedua negara tersebut agar lebih mudah memperoleh investasi langsung asing/Foreign Direct Investation (FDI) yang sangat diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Namun untuk dapat menarik investasi asing, menjaga keamanan dan ketertiban politik juga merupakan hal yang harus terus dilakukan oleh pemerintah. Meskipun ini menimbulkan pertanyaan, apakah metode yang digunakan, yang mungkin mengandalkan kekuatan militer untuk menjaga keamanan dan ketertiban politik, adalah pendekatan terbaik dalam menghadapi tantangan ini, atau ada cara-cara lain yang lebih efektif dan tidak bergantung pada instrumen kekuatan yang lebih otoriter.
“Jika kita menginginkan investasi maka politik harus aman dan terkendali, aman dan terkendali ini yang menjadi PR kita karena pemerintah akan selalu menggunakan kekuasaan berbasis militer untuk menyelesaikan permasalahan, padahal mungkin bisa dengan cara lain di luar konsep yang seperti ini. Banyak yang berpendapat bahwa Prabowo bisa menjadi presiden dengan gaya kepemimpinan yang lebih militeristik, Saya berpendapat bahwa barangkali tidak, secara terbuka. Tapi Prabowo akan melanjutkan kebijakan Jokowi yang lebih mengandalkan instrumen hukum dan birokrasi, untuk menjaga stabilitas,” ungkap Faris.
Dengan mempertimbangkan semua faktor ini, maka pemerintah Indonesia harus mampu mengelola kebijakan dengan lebih bijak dan menjaga stabilitas politik untuk menciptakan pertumbuhan yang berkelanjutan. Dalam waktu dekat, selama masa kepemimipinan Prabowo, masyarakat akan melihat apakah ambisi ini dapat tercapai atau justru menjadi beban politik yang akan sulit dilaksanakan. (Mut)