Islamic Financial Development Report tahun 2022 melaporkan bahwa aset keuangan syariah global telah mencapai angka sebesar 3,96 triliun US Dollar pada tahun 2021. Angka ini menunjukkan peningkatan yang signifikan sebesar 16,76% dari tahun sebelumnya yang sebesar 3,39 triliun US Dollar. Hal ini menandakan bahwa industri keuangan syariah global semakin tumbuh dengan kuat seiring dengan pemulihan ekonomi global.
Pertumbuhan ini juga didukung oleh perkembangan positif di pasar-pasar baru dan berkembang, seperti di wilayah Asia Tengah dan Afrika Utara. Dengan terus terbukanya ekonomi global, industri keuangan syariah diperkirakan dapat terus tumbuh hingga mencapai 5,90 triliun US Dollar pada tahun 2026.
Akan tetapi, Profesor Habib Ahmed, Ketua bidang Hukum dan Keuangan Islam di Universitas Durham, Inggris, memberikan pandangan mendalam tentang tantangan yang dihadapi industri keuangan Islam saat ini. Salah satu tantangan utama yang ia soroti adalah perlunya industri ini untuk mempertahankan identitasnya yang unik dan tidak sekadar mereplikasi produk keuangan konvensional.
“Satu tantangan utama yang saya pikir sangat penting adalah berkaitan dengan identitas keuangan Islam. Keuangan Islam sebenarnya harus diinterpretasi dengan baik tentang kepatuhan terhadap syariah,” ungkapnya dalam acara Guest Lecture International Program for Islamic Economics and Finance, Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) di Gedung Pascasarjana UMY, Jumat (29/9). Ia menekankan pentingnya mengkomunikasikan kepada masyarakat bahwa keuangan Islam mencerminkan nilai-nilai Islam yang mendalam dan menawarkan pilihan yang sesuai dengan ketentuan agama.
Seiring dengan perkembangan zaman, Profesor Ahmed berpendapat bahwa keuangan Islam harus berinovasi dan beradaptasi untuk memainkan peran yang lebih besar dalam pertumbuhan ekonomi global dan pemenuhan tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
“Keuangan Islam harus menjadi lebih dari sekadar produk finansial. Ia harus mencerminkan nilai-nilai Islam yang mendalam, terutama dalam konteks larangan terhadap riba (bunga). Keuangan Islam harus menjadi pilihan yang sesuai dengan kepatuhan agama dan juga menawarkan produk-produk dan layanan yang lebih baik secara keseluruhan,” tegasnya.
Lebih lanjut, di akhir meterinya, Prof. Ahmed menekankan tiga poin penting. Pertama, fokus pada inovasi makna kepatuhan terhadap syariah dengan memasukkan maqasid (tujuan) yang menciptakan nilai bagi klien. Kedua, keuangan Islam harus dilihat sebagai upaya yang harus mencerminkan prinsip “rahmatan lil alamin” atau rahmat bagi seluruh alam. Terakhir, inovasi dalam organisasi, produk, dan pemasaran/penjualan merupakan kunci untuk menceritakan kisah tentang literasi keuangan Islam. (Mut)