Aktor politik terutama di negara-negara Muslim, cenderung mendiferensiasi hubungan antara agama dan politik. Padahal, agama, terutama agama Islam, hakikatnya adalah ajaran cara untuk hidup, sehingga sepatutnya diaplikasikan dalam seluruh aspek kehidupan. Tidak terkecuali politik.
Dr. Zakir Naik, pendakwah asal India, dalam konferensi pers di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada Senin (03/04), menyampaikan bahwa Islam sebagai agama, merupakan ajaran hidup penganutnya. “Islam itu agama, way of life (cara untuk hidup). Dalam Islam kita diajarkan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak. Oleh karenanya, dalam berpolitik pun seharusnya demikian pula. Harus menganut pada apa yang sudah diajarkan oleh Islam,” jelas Dr. Zakir.
Dr. Zakir menyayangkan bahwa banyak politisi dan pemimpin Muslim yang membedakan faktor Islam dengan politik, dengan alasan takut kehilangan jabatan. “Permasalahannya, kita sekarang tidak memiliki pemimpin yang mengimplementasikan ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Para pemimpin di zaman sekarang, meskipun mereka Muslim, namun mereka cenderung takut bila kehilangan kursi kedudukan mereka. Mereka lupa jika mereka berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah, mereka dapat memiliki kedudukan di akhirat. Tetapi mereka lebih takut pada kursi (kedudukan) di dunia, daripada kursi (jabatan) di akhirat,” jelas pendakwah asal India tersebut.
Dr. Zakir menambahkan bahwa hingga saat ini, tidak ada pemimpin yang sempurna menyerupai kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. “Hanya kepemimpinan Nabi Muhammad yang menjalankan politik sesuai syariat Islam. Kepemimpinan Nabi Muhammad adalah contoh kepemimpinan yang terbaik . Politik saat ini sudah kotor dan tidak ada yang seperti kepemimpinan di zaman itu (Zaman Kepemimpinan Nabi Muhammad),” jelas Dr. Zakir.
Dalam konferensi pers yang diselenggarakan setelah agenda Public Lecture Dr. Zakir Naik di Sportorium UMY, beliau banyak menjelaskan permasalahan Muslim yang ada di Indonesia. Salah satunya adalah permasalahan Muslim Liberal di Indonesia yang menyebutkan bahwa Al-Qur’an adalah mitologi belaka. Dalam penjelasan Dr. Zakir Naik, beliau menganalogikan bila percaya bahwa Al-Qur’an adalah sebuah mitologi, maka sama halnya dengan kelompok tersebut mempercayai penjumlahan 2+2=5. “Kelompok yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah mitologi, mereka itu adalah yang memiliki pengetahuan yang minim. Sama halnya dengan mempercayai orang yang mengatakan bahwa 2 ditambah 2 itu lima,”terang Dr. Zakir Naik. (deansa)