Berita

Islam Indonesia Bukan Islam Syariat

diskusi buku Islam SyariatUmat Islam saat ini seperti tengah menggali kuburannya sendiri. Peluang dan ruang diskusi antar kelompok agama ditutup. Akibatnya, muncul kelompok-kelompok yang hanya membenarkan Islam yang mereka pegang, selain itu yang tidak sesuai dengan Islam atau syariat yang mereka pegang, dianggap salah.

Demikian disampaikan Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam acara diskusi buku Islam Syariat “ Reproduksi Ideologi Salafiyah di Indonesia” karya Dr. Haedar Nashir, yang bertempat di ruang sidang AR. Fakhruddin A lantai 5, kampus terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Kamis (25/7).

Menurut Buya Syafi’I, selama ini yang terjadi ialah adanya sekelompok orang yang memerangi orang lain atas nama agama, dan menjadikan agama sebagai pembenaran dari perbuatannya. “Ini yang menyedihkan,” ujar Pendiri Ma’arif Institute ini.

Selain itu, lanjut Buya lagi, fenomena Gerakan Islam Syariat di berbagai daerah di Indonesia lebih pada keyakinan terhadap kredo bahwa ‘Islam adalah solusi’. Gejala patologi sosial global yang terjadi di dunia seperti realitas sosial, politik, ekonomi, hukum, kondisi keamanan yang kacau dan morat marit, memberi peluang bagi tampilnya syariat Islam tersebut. “Hal ini juga yang dialami dan terjadi pada masyarakat Muslim di Indonesia,” tuturnya.

Sementara itu, Dr. Haedar Nashir menyatakan bahwa buku yang ia tulis ini melihat penegakan Islam sesuai syariat dengan perspektif sosial. “Tidak bermaksud untuk mengevaluasi, namun hanya untuk memetakan pergerakan Islam. Buku ini juga berusaha menggambarkan upaya penegakan syariat Islam di lembaga pemerintahan,” terangnya.

Haedar mengatakan, munculnya gerakan Islam Syariat di Indonesia merupakan bentuk Islamisasi baru yang berbeda dari arus utama seperti NU dan Muhammadiyah. Kultur dakwah yang lebih lentur dan lembut, diganti menjadi sangat kaku dan ideologis. “Konstruksi dari Islam syariat hanya mengambil 10 persen dari kandungan ayat Al-Quran. Namun 10 persen ini yang menjadi sangat mengatur kehidupan masyarakatnya,” paparnya.

Kehadiran gerakan Islam syariat dengan karakter dan orientasi yang bercorak ‘Salafiyah Ideologis’ tersebut merupakan tantangan bagi kelompok gerakan Islam moderat (arus tengah). “Ia juga merupakan tantangan bagi kelompok-kelompok masyarakat lain dalam membangun keseimbangan-keseimbangan baru di tengah kecenderungan yang serba ekstrem, baik dalam kehidupan keagamaan maupun kebangsaan,” tutur penulis yang juga menjabat sebagai Ketua PP Muhammadiyah ini lagi.

Lebih jauh Buya Syafi’i yang juga merupakan salah seorang tokoh Islam di Indonesia menambahkan, bahwa buku yang ditulis oleh Dr. Haedar Nashir ini, memberi peringatan terhadap masa depan eksistensi Muhammadiyah dan NU yang selama ini memposisikan dirinya sebagai arus-utama Islam moderat di Indonesia.

Kondisi ini sangat merugikan masa depan kedua kekuatan sipil Islam tersebut. Sebab, bisa-bisa keduanya rapuh dan lumpuh karena tidak ada kreativitas untuk menghadapi gerakan Islam Syariat yang ingin mendirikan Negara Islam di Indonesia. Padahal sejak dulu agama di Indonesia bukan hanya Islam saja, dan Pancasila sudah menjadi dasar berdirinya negara ini. “Saya sangat berharap kehadiran buku ini dapat memotivasi Muhammadiyah, NU, dan kelompok-kelompok Islam moderat lainnya untuk terus serius mengkaji ulang orientasi dan wawasan keberagamannya untuk menyuarakan nilai-nilai keIslaman, kebangsaan, dan kemanusiaan dalam satu nafas, Islam Indonesia,” pungkasnya.