Berita

ITFSS UMY Kaji Perbedaan Karakteristik Lahan di Yogyakarta

Yogyakarta memiliki kekhasan dalam struktur wilayah yang secara umum dibedakan berdasarkan karakteristik lahan dan kandungannya, dan dapat memperkaya potensi produksi di sektor pertanian. Dampak terhadap ekosistem pertanian dari bermacam karakteristik tersebut memerlukan proses pengolahan lahan yang berbeda dengan wilayah lain, dan karakteristik lahan Yogyakarta ini dipelajari secara khusus melalui agenda Summer School dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yaitu International Tropical Farming Summer School (ITFSS). Dibuka secara resmi pada Senin (5/8) dan akan dilaksanakan selama satu minggu hingga Senin (12/8), ITFSS mencoba memberikan pemahaman menyeluruh atas tiga klasifikasi yang berbeda terhadap wilayah di Yogyakarta.

Taufiq Hidayat, S.P., M.Sc. selaku Ketua Pelaksana dari ITFSS yang telah memasuki tahun kesembilan ini menyebutkan jika Yogyakarta memiliki wilayah atas berupa gunung, wilayah tengah hingga wilayah bawah yaitu pantai. Taufiq menganggap bahwa uniknya lahan di Yogyakarta jarang dimiliki oleh daerah lain, dan para peserta ITFSS dapat memiliki pengetahuan lebih dalam terkait pertanian tropis di ketiga wilayah ini. Salah satu keunikan yang disebut oleh Taufiq adalah lahan surjan yang banyak terdapat di wilayah Kulon Progo.

“Surjan sendiri merupakan salah satu teknik budidaya tanaman, yang biasanya memiliki perbedaan tinggi bidang tanam dengan luas lahan sehingga dapat dimanfaatkan untuk menanam beberapa jenis tanaman sekaligus. Sebagai contoh, wilayah di Yogyakarta yang semakin mendekati pantai akan memiliki air yang melimpah. Para petani pun dapat membuat beberapa bidang tanam dengan memanfaatkan pengairan secara efektif, seperti padi yang ditempatkan di bidang rendah, sementara bidang lebih tinggi untuk tanaman agrikultur lainnya,” jelas Taufiq saat ditemui pada Rabu (7/8).

Peserta ITFSS sendiri merupakan para mahasiswa yang berasal dari 9 negara, yaitu Malaysia, Gambia, Peru, Panama, Turkiye, Polandia, Hungaria, Maroko, dan Indonesia. Dalam proses pembelajaran Summer School yang berada di bawah naungan program studi Agroteknologi UMY ini, tidak hanya berupa penjelasan dari dosen dan praktisi di ruang kelas namun juga visitasi dan tinjauan langsung ke lokasi yang menjadi bahan pembelajaran.

Taufiq menyebutkan bahwa para peserta dapat secara langsung melihat dan mempelajari karakteristik lahan serta proses ekosistem pertanian di wilayah atas, di lahan surjan dan wilayah bawah Yogyakarta.

“Kami ingin memberikan pengalaman belajar yang komprehensif bagi para peserta, mengingat mereka berasal dari berbagai negara yang tidak semuanya merupakan negara tropis dan tentu merasa asing dengan ekosistem pertanian di Indonesia. Sehingga kami bekerja sama dengan banyak praktisi, mulai dari kelompok tani di sekitar kawasan Merapi, desa Bugel di Kulon Progo serta beberapa di Gunung Kidul. Kami pun secara khusus meminta Bumi Langit Institute sebagai mitra yang sekaligus praktisi di bidang permakultur, atau sistem pertainan yang berkelanjutan,” imbuh dosen program studi Agroteknologi ini.

Dengan memahami bahwa hal yang paling menentukan dalam budidaya tanaman atau agrikultur adalah aspek budaya, tata cara ataupun kebiasaan yang berbeda dalam bertani, Taufiq berharap agar ITFSS dapat menjadi sarana untuk memahami berbagai perbedaan tersebut yang berkaitan dengan pertanian tropis. Ia pun ingin agar para peserta dapat mengolah seluruh wawasan yang didapat selama berkegiatan dan membentuk satu tata cara budidaya tanaman yang sesuai dengan karakteristik wilayah masing-masing. (ID)