Bulan suci ramadan, selain bulan yang penuh rahmat dan ampunan, juga merupakan momentum yang tepat untuk bertransformasi menjadi pribadi yang lebih baik. Ustadz Drs. H. Saebani M.Pd., M.A, Pimpinan Daerah Muhammadiyah Bantul mengatakan, setelah berpuasa Ramadan, manusia hendaklah berupaya untuk memperbaiki diri menjadi pribadi yang lebih baik, karena hal tersebut merupakan ciri dari manusia yang unggul dan Islami.
“Jangan sampai setelah berpuasa sifat dan tingkah laku masih sama seperti sebelum berpuasa. Itu bukan pribadi yang unggul. Maka harus ada perubahan,” kata Saebani dalam acara pengajian Ramadan Tenaga Kependidikan (tendik) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) , Kamis (28/3) di Gedung AR Fakhruddin B lantai 5 UMY.
Ia juga mengungkapkan bahwa saat ini, kebanyakan orang tidak lagi memperhatikan makna puasa. Mereka lebih fokus pada hal-hal seperti membeli sembako, tiket mudik, mempersiapkan baju lebaran, dan menunggu THR (tunjangan khusus Hari Raya). Sehingga Saebani mengingatkan para tenaga kependidikan yang hadir dengan bertambahnya usia untuk terus menambah ilmu, menambah pahala dan menambah saudara. Menurutnya, harus ada perubahan ke arah kemajuan untuk mencapai tingkatan la’allakum tattakun (derajat orang yang bertakwa).
“Yaitu melakukan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Sebaik-baiknya puasa adalah la’allakum tattakun, maka harus ada perubahan, bentuk dari tingkah laku dalam kehidupan. Tambah usia, tambah ilmu, tambah pahala, tambah saudara, Sehingga setelah di bulan Ramadan nanti, di bulan Syawal menjadi orang yang bersih,” imbuh Saebani.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa untuk menjadi pribadi yang unggul dan Islami, juga perlu menyeimbangkan antara urusan dunia dan akhirat. Dalam Islam, menjaga keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat tidaklah berarti mengesampingkan salah satunya, melainkan melaksanakan keduanya dengan proporsi yang seimbang.
Menurutnya, dengan menyeimbangkan antara urusan dunia dan akhirat, dapat menjadikan manusia sebagai pribadi yang unggul dan Islami. Hal ini menjadi penting terutama di bulan suci Ramadan.
“Harus seimbang antara dunia dan akhirat. Harus seimbang antara mikir dan dzikir, mikir untuk dunia, dzikir untuk akhirat. Kalau orang hanya mikir tidak dzikir, maka orang tersebut menjadi kafir. Sebaliknya orang yang dzikir tanpa mikir, ia menjadi fakir,” pungkas Saebani. (Mut)