Berita

“Jogja Istimewa” Dinilai Kurang Tersosialisasikan Dengan Baik

img_2183

Perubahan tagline “Jogja Never Ending Asia” menjadi “Jogja Istimewa” pada 31 Agustus 2012 lalu, dan mulai digalakkan pada awal tahun 2015 belum disosialisasikan dengan baik kepada seluruh masyarakat Kota Yogyakarta. Perubahan tagline Yogyakarta sebagai kota pelajar, kota budaya, dan bahkan sebagai Never Ending-nya Asia, dengan tagline terbaru “Jogja Istimewa” belum tersosialisasi dengan maksimal terutama bagi masyarakat Yogyakarta. Peran humas Pemerintah Kota Yogyakarta sebagai salah satu komunikator dan mediator dalam proses sosialisasi antara pemerintah kepada masyarakat Kota Yogyakarta tentu sangat diperlukan. Terlebih di era komunikasi digital, Humas tentu bisa memanfaatkan media komunikasi Digital Public Relations (PR) sebagai salah satu media yang dapat dimanfaatkan dalam proses sosialisasi.

“Sosialisasi branding dan tagline baru Yogyakarta dibutuhkan agar bisa diterima oleh seluruh elemen masyarakat Kota Yogyakarta. Apalagi jika pemerintah dapat memanfaatkan digital PR, dalam proses sosialisasi “Jogja Istimewa” sebagai branding baru Kota Yogyakarta akan lebih cepat, tepat, dan efektif tersosialisasi kepada seluruh elemen masyarakat di Kota Yogyakarta. Dengan demikian Daerah Istimewa Yogyakarta yang lebih berkarakter, berbudaya, maju, mandiri, dan sejahtera menyongsong peradaban baru dapat dengan mudah terwujud,” jelas Frizki Nurnisya, selaku panelis dalam diskusi panel di Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) lantai 1, Sabtu (29/10), dalam acara Asian Congress for Media and Communication (ACMC), yang telah diselenggarakan sejak Kamis (27/10).

Frizki melanjutkan, penelitian yang dilakukan bersama Adhianty Nurjanah ini, mengamati bahwa perubahan tagline atau branding Yogyakarta tersebut belum disadari oleh masyarakat luas. Meski sudah dilakukan proses sosialisasi dengan menggunakan media seperti baliho, pemasangan di videotron, ataupun beriklan di media massa namun tidak semua masyarakat Yogyakarta menerima pesan branding tersebut secara utuh, “Banyak masyarakat yang tidak mengerti apa maksud branding tersebut? Setelah ganti branding lalu kenapa? Apa kegiatan selanjutnya? Apa maksudnya 9 ikon tersebut? Tidak semua masyarakat Yogyakarta memahami” jelas Frizki.

Bahkan Tri Hastono, Humas Pemerintahan Kota Yogyakarta sebagai narasumber penelitian tersebut juga mencermati ada ketidakkonsistenan dalam pelaksanaan sosialisasi. Contohnya, tim 11 sebagai perancang branding telah menggambarkan implementasi branding di Transjogja namun tidak dilaksanakan ataupun membuat design kop surat dengan branding terbaru akan tetapi juga tidak dilaksanakan sehingga di level internal saja tidak muncul kesadaran untuk melaksanakan branding terbaru Yogya ini. “Jika ingin terlaksana dengan baik, perlu peraturan mengikat dari pemerintah. Misal hotel yang akan didirikan akan keluar surat izin pembangunan jika sudah menyepakati akan menyertakan unsur-unsur terbaru branding tersebut di hotel nanti,” tambah Frizki.

Frizki dan Adhianty juga mencermati Humas Pemerintah Kota Yogyakarta tidak dilibatkan dalam perancangan tagline baru tersebut karena mereka hanya sebagai pelaksana untuk memperkenalkan adanya branding baru kota Yogyakarta. “Hal ini tentu sangat disayangkan karena posisi humas dalam sebuah instansi memiliki peranan penting untuk mendengar pendapat dari seluruh stakeholder. Tidak berlebihan jika kemudian humas dianggap bisa memiliki pertimbangan yang lebih matang karena bisa berada diantara kepentingan seluruh stakeholder,” ujarnya.

Sementara itu, diskusi panel yang menjadi salah satu rangkaian acara ACMC (Asian Congress for Media and Communication) bertemakan “Bagaimana Komunikasi Mengubah Struktur Kekuasaan,” dihadiri oleh lebih dari 80 akademisi dari beberapa negara di Asia. Dijelaskan oleh Rachel E. Khan selaku ketua ACMC saat diwawancarai pada waktu yang sama, Rachel mengatakan bahwa ACMC merupakan organisasi bagi profesional akademik di bidang komunikasi dan media massa. “Konferensi Internasional yang saat ini diadakan di UMY dalam rangka perayaan 10 tahun berdirinya ACMC. Sebelumnya ACMC diadakan di negara-negara yang berbeda, yang pertama tahun 2008 di Davao, Filipina. Kedua di Penang, Malaysia. Ketiga di Bangkok, Thailand. Keempat di Hongkong, dan sekarang ini adalah konferensi kelima,” jelasnya. Dan dalam konferensi kelima ini, UMY mendapat kehormatan untuk menjadi tuan rumah dari penyelenggaraannya.

Rachel memaparkan, Konferensi ACMC yang bekerjasama dengan universitas penyelenggara yang memiliki minat pada tema saat ini merupakan wadah pertemuan dari berbagai negara ASEAN untuk saling berbagi ilmu di bidang komunikasi dan media massa. “Tujuan utama dari konferensi ini yaitu agar semua peserta yang hadir dapat saling berbagi ilmu antar satu sama lain. Itu tujuan yang paling penting. Selain itu dengan terbentuknya networking (jaringan, red) dari kolega-kolega kami dari penjuru Asia. Ini salah satu cara untuk memperluas kolaborasi baik antar negara maupun antar universitas,” paparnya. (hv)