Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mencatat ada sekitar 2.671 insinyur per 1 juta penduduk di Indonesia. Angka ini masih jauh tertinggal apabila dibandingkan dengan Vietnam yang memiliki 9 ribu insinyur per 1 juta penduduk dan Korea Selatan 25 ribu insinyur per 1 juta penduduk. Angka insinyur di Indonesia ini tentu dinilai masih sangat sedikit bahkan jauh dari kata ideal.
“Kalau kita bandingkan dengan negara-negara lain, maka angka kita sangat kecil, bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga sekalipun,” ungkap Prof. Ir. Asep Kurnia Permadi, M.Sc., Ph.D., IPU., ASEAN Eng, Ketua Badan Pelaksana Pengembangan Program Profesi Insinyur, Sabtu (30/9) dalam acara Sumpah Profesi Insinyur Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) di gedung Pascasarjasana UMY lantai 4.
Hal inipun sempat disinggung oleh wakil presiden RI, K.H Ma’ruf Amin, dalam kongres Persatuan Insinyur Indonesia (PII) tahun 2021 lalu yang menyebut bahwa jumlah insinyur Indonesia masih sangat sedikit. Jika dihitung, Indonesia masih memerlukan 300 ribu insinyur, bahkan dalam konteks tertentu, Indonesia masih membutuhkan 1 juta insinyur.
“Maka jika dilihat dari jumlah di atas, Indonesia perlu menambahkan jumlah insinyurnya. Salah satu cara yang dilakukan untuk meningkatkan jumlah insinyur di Indonesia adalah dengan mendorong lebih banyak sarjana teknik untuk mengikuti Program Studi Program Profesi Insinyur (PSPII). Saat ini, ada sekitar 49 perguruan tinggi di Indonesia yang menyelenggarakan PSPII, tetapi kumulatif lulusannya masih jauh dari kebutuhan yang ada,” jelas Asep.
Tantangan ini tidak hanya menjadi tanggungjawab PII sebagai penyelenggara PSPII, tetapi juga melibatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjadi insinyur profesional.
“Kita harus melakukan promosi dan sosialisasi pembelajaran kepada masyarakat bahwa untuk berprofesi sebagai seorang insinyur itu harus menjadi seorang insinyur profesional dan itu dimulai dengan kepesertaan di program profesi ini,” terangnya di hadapan 20 insinyur yang dilantik dalam sumpah profesi insinyur di UMY hari ini.
Lebih lanjut dikatakan Asep, insinyur Indonesia menghadapi tantangan global yang relatif berat. “Terutama status kita sebagai negara yang belum bisa mandiri seperti halnya negara-negara maju yang lain. Kita masih banyak tergantung khususnya dalam teknologi kepada negara lain. Untuk itu, kita harus menghadapinya dengan kompetensi dan karakter profesionalitas yang mumpuni sebagaimana terdapat di dalam undang-undang,” imbuh Asep.
Sementara itu, Wakil Rektor UMY bidang Akademik, Prof. Dr. Ir. Sukamta, S.T., M.T., IPM mengatakan bahwa saat ini Indonesia berada pada era generasi insinyur 5.0, dimana yang menjadi pusat dari segala teknologi adalah manusia. Maka manusia perlu menempatkan diri pada posisi tengah untuk mengendalikan semua teknologi, sehingga teknologi menjadi ramah kepada manusia.
“Bukan manusia yang dikendalikan oleh berbagai teknologi tapi justru teknologi yang dikendalikan oleh para insinyur untuk kemaslahatan umat dan bangsa,” ujarnya.
Ia pun mengajak seluruh perguruan tinggi untuk berperan aktif dalam menjadikan lulusannya kompeten dan profesional di bidang keteknikan, sehingga jumlah insinyur Indonesia dapat meningkat dengan signifikan.
“Karena kita tahu, semua pekerjaan infrastruktur dominan ditangani oleh para insinyur. Kalau insinyurnya berkompeten, maka bangunan-bangunan infrastruktur, baik itu sipil, militer maupun pabrik akan dikerjakan dengan baik. Memenuhi standar mutu dan hal itu tentu akan memberikan nilai tambah bagi pabrik, atau lembaga itu sendiri dan pada akhirnya akan memberikan kontribusi terbaik bagi bangsa Indonesia. Sehingga insinyur kita akan diakui tidak hanya di level Asia tapi juga di level dunia,” pungkas Sukamta. (Mut)