The Tobacco Atlas 3rd Edition pada tahun 2009 menyebutkan bahwa perokok di Indonesia menduduki peringkat pertama di ASEAN, dengan persentase 46.16% dari keseluruhan penduduk negara-negara ASEAN. Sedangkan peringkat kedua, Filipina hanya memiliki presentase sebesar 16.62%. Hal ini menunjukkan betapa tingginya perokok yang ada di Indonesia. Kemudian, data dari Riskesdas tahun 2017 juga menunjukkan jumlah perokok di Indonesia mencapai 29.3%. Hal ini disampaikan oleh dr. Supriyatiningsih, Sp.OG, M.Kes, selaku Project Director Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) UMY dalam acara workshop KTR (Kampus Tanpa Rokok) di Amphiteater B, E7 lantai 5 gedung KH Ibrahim UMY pada hari Selasa (5/6).
Membawakan materi mengenai rokok sebagai ancaman terhadap pemuda, dokter spesialis kandungan yang sering disapa Upi ini menjelaskan bahwa dua dari tiga pria di Indonesia merupakan seorang perokok, dan sebanyak 60% mulai merokok dari usia 9 sampai 16 tahun. Selain itu, jika digabungkan, perokok wanita di dunia, memiliki presentase yang besar. Akan tetapi, di Indonesia angka perokok wanita tidak besar namun semakin tahun naik 0.7 hingga 2.9 persen. “Indonesia yang merupakan salah satu dari dua negara dari 180an negara yang belum menandatangani tentang pertembakauan. Hal ini membuat Indonesia sebagai sasaran empuk masuknya produk tobacco. Maka dari itu, kita harus hati-hati,” ungkap dr. Upi.
dr. Upi juga menyampaikan bahwa dari data perokok di Indonesia, sebanyak 40 persen adalah orang miskin. Dan sebanyak 60 persen penghasilan digunakan untuk membeli rokok. Hal ini dikarenakan di Indonesia memiliki harga rokok termurah. “Sebenarnya, warning untuk pengurangan konsumsi rokok di Indonesia sudah ada. Dengan memberikan pictorial warning di setiap kemasan rokok yang ada. Akan tetapi, Pictorial warning ini di Indonesia lama kelamaan semakin kecil. Pictorial warning yang awalnya hanya sebatas tulisan, kini yang terbaru, sudah digantikan dengan gambar yang mengerikan,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Rektor bidang Akademik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Sukamta, ST, MT. menyebutkan bahwa di UMY sendiri telah memiliki regulasi untuk tidak diperbolehkannya merokok di lingkungan kampus. Menurutnya, regulasi ini telah ada dari tahun 2005 dengan nama menuju kampus bebas asap rokok, mulai dari pelarangan merokok di gedung yang ada di UMY. “Di tahun 2005 juga, yang bertanggungjawab terhadap bersih, bebas dari asap rokok, hanya dari kalangan stakeholder seperti Rektor, wakil rektor, dekan dan ketua prodi serta tenaga kependidikan. Sampai zaman pak Dasron, tanggungjawab tersebut tidak hanya dipikul oleh pimpinan, tapi seluruh civitas akademika UMY,” paparnya.
Kemudian dari pada masa rektor Ir. H.M. Dasron Hamid, M.Sc. Sukamta kembal menjelaskan bila pada saat itu, regulasi tersebut sudah menjadi kampus bebas asap rokok. Ketentuannya pun diperlebar, tidak hanya di gedung, namun juga di luar gedung. Pelarangan tersebut untuk semua yang berada di UMY. “Semua tamu, semua yang berkunjung ke kampus muda mendunia kena peraturan tersebut. Begitu masuk kampus muda mendunia, maka mereka terkena hukum, untuk tidak boleh merokok di kawasan kampus,” ungkapnya. Sukamta memberikan usul kepada Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). agar segera ditindaklanjuti untuk membuat sebuah satgas bebas dari asap rokok.
Kembali ditambahkan Sukamta, pimpinan juga wajib untuk mensosialisasikan terkait hal tersebut. “Nantinya, akan kami usulkan jika mulai tahun depan masuk Indeks Kinerja Strategis (IKS),” jelasnya. Jika dilihat dari sesi dakwahnya, perlu adanya sebuah pendekatan yang dinilai tidak menyinggung bagi para perokok yang ada di kampus ini. Sosialisasi dan pendekatan harus dilakukan dengan baik dan tidak menyinggung” ungkapnya lagi. Di akhir sesi, ia menyampaikan bahwa suatu kebaikan jika disampaikan secara tidak baik, maka akan dianggap sebagai sesuatu yang buruk atau tidak baik. (Darel)