Akar Komunikasi politik Muhammadiyah memiliki basis pada ideologinya yang tertransformasi kedalam strategi komunikasi politik Muhammadiyah dan wacana politik yang dikembangkan oleh Ketua Muhammadiyah. Strategi komunikasi politik Muhammadiyah dan wacana politik ketua Muhammadiyah berjalan secara integratif dan kolaboratif, membentuk sebuah konfigurasi pohon komunikasi politik Muhammadiyah.
Demikianlah disampaikan oleh Dr. M. Nurul Yamin, Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dalam wawancaranya kamis 26 April 2012 di kampus terpadu UMY.
“Strategi komunikasi politik Muhammadiyah terpetakan dalam tiga strategi besar, yaitu strategi komunikasi politik iman dan amal shaleh, strategi komunikasi politik struktural kekuasaan, dan strategi komunikasi politik kultural kebangsaan”, tambahnya.
Yamin berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Wacana Politik M. Amien Rais Dan A. Syafi’I Ma’arif Dalam Dinamika Komunikasi Politik Muhammadiyah; Analisis Wacana Kritis Nourman Fairclough” untuk memperoleh gelar doktor bidang ilmu komunikasi beberapa waktu lalu di Universitas Padjadjaran Bandung dan dinyatakan lulus dengan predikat Cum Laude.
Pada sisi lain, lulusan Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan, yang juga Wakil Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini menyatakan bahwa wacana politik yang dikembangkan oleh Ketua Muhammadiyah khususnya di era M. Amien Rais dan A. Syafi’i Ma’arif sebagai fokus penelitian merepresentasikan wacana politik Islam. Artinya, bahasa politik Islam sebagai simbol dalam proses komunikasi politik diposisikan sebagai legitimasi teologis-historis yang mewarnai wacana politik ketua Muhammadiyah.
Yamin menyatakan bahwa “di balik wacana politik ketua Muhammadiyah terdapat konstruksi realitas komunikasi politik Muhammadiyah yang menunjukkan bahwa : pertama, peran politik Muhammadiyah dalam proses demokratisasi. Demokrasi membutuhkan organisasi sosial, sekali pun mereka tidak memiliki sifat politik tertentu, sebab mereka berfungsi sebagai sumber bagi keterlibatan sosial dan politik masyarakat. Fungsi-fungsi organisasi sosial semacam ini sangat berarti dalam membangun kehidupan demokrasi. Ketika kekuatan politik formal kehilangan elan vitalnya sebagai pilar demokrasi, maka kekuatan politik masyarakat sipil seperti Muhammadiyah tampil menggantikannya. Dalam konteks demikian, pemimpin organisasi sosial keagamaan sebagai komunikator politik memiliki peran mentransformasikan bahasa agama dalam bahasa politik kontemporer”.
Kemudian, lanjutnya, “yang kedua adalah citra politik Muhammadiyah. Citra politik Muhammadiyah ditentukan oleh wacana politik yang dikembangkan oleh ketuanya. Meskipun Muhammadiyah menganut model kepemimpinan kolektif kolegial, pada realitasnya wacana politik ketua Muhammadiyah yang sangat menentukan citra politik Muhammadiyah. Dengan demikian representasi wacana politik Muhammadiyah sangat dipengaruhi oleh konfigurasi aktor, nilai, dan tafsir politik yang dianut oleh pemimpinnya”.
Yamin menambahkan bahwa yang ketiga adalah personalisasi politik Muhammadiyah. “Dominannya wacana politik Ketua Muhammadiyah menjadikan rentan terjadinya personalisasi politik di tubuh Muhammadiyah, sebab publik tidak mudah membedakan antara wacana politik organisasi dan wacana politik individu”.
“Hal ini sebagai konsekuensi logis dari model kepemimpinan informal yang bersifat total, ideologi terbuka Muhammadiyah yang membuka ruang tafsir dan perbedaan pendapat di kalangan Muhammadiyah”, pungkasnya.