Berita

Kalender Islam sebagai Basis Akuntansi Bisnis Muslim

IMG_6223Hasil zakat mal (harta) dari seluruh umat Islam jika dikumpulkan semua sebenarnya bisa mensejahterakan seluruh kaum miskin di dunia ini. Bahkan bisa melunasi hutang peradaban. Namun sayangnya, hal itu masih belum didukung sepenuhnya oleh keberadaan ekonomi syari’ah yang masih terus bertumpu pada kalender masehi.

Padahal, jika sistem ekonomi syari’ah itu bertumpu pada perhitungan kalender hijriyah, sudah lebih dari 83 juta dollar hasil zakat mal dari 10 juta umat Islam, akan didapatkan hanya dalam waktu sembilan setengah tahun. Akan tetapi, ketiadaan kalender hijriyah yang bisa dijadikan patokan untuk menghitung haul (waktu setahun penuh) zakat masih menjadi penghambat dari tersalurnya hasil-hasil zakat tersebut.

Demikian benang merah dari diskusi dan bedah buku “Pseudo Syariah Economy and Muslims Civilization”, pada Sabtu (1/11​) di ruang sidang gedung AR. Fakhruddin A lantai 5 Kampus Terpadu UMY. Bedah buku dan diskusi ini diinisiasi oleh Fakultas Ekonomi UMY. Adapun b​uku yang ditulis oleh Prof. Dr. Tono Saksono ini berawal dari penelitiannya mengenai kalender Islam yang dilakukannya sejak tahun 2006. Dari buku ini pula ia ingin membangkitkan kepedulian para sarjana, dosen, dan doktor-doktor Muslim untuk bisa membantu mengentaskan kemiskinan, dengan berpegang pada penggunaan kalender Islam sebagai basis akuntansi bisnis Muslim. Sebab selama ini, pembahasan mengenai ekonomi syariah masih berkutat pada tiga hal, yakni riba (bunga bank), maysir (unsur perjudian), dan gharar (adanya unsur haram dalam usahanya).

Menurut Prof. Tono, dosen di Universiti Husein Onn, Malaysia ini, sistem ekonomi syariah, khususnya dalam bidang perbankan syariah, perlu menggunakan kalender Islam atau kalender hijriyah dalam menentukan haul zakat para nasabahnya. Sebab menurutnya, perhitungan kalender masehi dengan hijriyah itu berbeda. “Perhitungan pada kalender hijriyah itu 11 hari lebih pendek dari kalender masehi. Kalau membayar zakatnya mengikuti kalender masehi maka zakat baru dibayarkan setelah haulnya 365 hari. Tapi kalau mengikuti kalender hijriyah, hari ke 354 sudah masuk haul dan wajib mengeluarkan zakat. Dengan begitu, kalau mengikuti kalender masehi, ada waktu-waktu yang tidak terhitung haulnya,” paparnya.

Ia pun kemudian memberikan contoh jika ada 10 juta umat Islam yang memiliki asset saham di perbankan selama 9,5 tahun, jumlah hasil zakatnya pun akan berbeda. “Misalkan, 10 juta umat Islam punya saham selama sembilan setengah tahun. Maka menurut perhitungan kalender masehi, zakat yang terkumpul sebanyak 81 juta dollar. Tapi kalau dihitung menurut kalender hijriyah, akan terkumpul dana zakat sebanyak 83 juta dollar. Jadi ada selisih kekurangan 2 juta dollar yang tidak terhitung zakatnya,” ungkapnya.

Akan tetapi, menurut profesor berdarah asli Indonesia ini, umat Islam sendiri hingga saat ini masih belum peduli dengan kalender Islam. Hal ini menurutnya dibuktikan dengan banyaknya perbedaan dalam menentukan awal bulan hijriyah, seperti yang terjadi dalam penentuan awal Ramadhan, Syawal, bahkan tanggal 9 atau 10 Dzulhijjah, “Sehingga akibatnya, belum ada kalender hijriyah yang bisa benar-benar dipercaya. Untuk itu, jika kita ingin membantu melunasi hutang peradaban umat ini yang mungkin saja sudah berusia 40 tahun lebih, kita harus menjadikan kalender Islam sebagai sandaran utama ekonomi syariah,” pungkasnya. ​(Sakinah)