Polemik di Kasultanan Yogyakarta yang kurang lebih dua minggu terakhir ini, cukup menyita perhatian masyarakat Indonesia, Khususnya masyarakat Yogyakarta. Polemik muncul ketika Sabda Raja yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana X pada (30/04). Sabdaraja ini tak pelak menjadi perhatian masyarakat dan juga pengamat karena Sabdaraja yang dikeluarkan Sultan dinilai melanggar adat istiadat di lingkungan Keraton. Selain itu, sebagian pengamat pun menilai, adanya pro-kontra terhadap Sabdaraja tersebut dapat megancam eksistensi keraton dan Kasultanan Yogyakarta akan berpotensi terbelah.
Demikian garis besar dari paparan yang dikemukakan Prof, Dr. Tulus Warsito M.Si dalam diskusi terbatas yang dilakukan oleh Biro Humas dan Protokol UMY, pada Jum’at (15/05) di Jurusan HI UMY, mengenai masalah yang saat ini terjadi di Keraton Yogyakarta. Lebih jauh, Prof. Tulus memaparkan bahwa Kesultanan yang ada di Yogyakarta ini berbeda dengan yang ada di Solo. Oleh sebab itu, polemik ini menjadi rumit karena Sultan secara langsung diberi keistimewaan menjadi Gubernur Yogyakarta. “Keraton di Jogja terintegrasi langsung dengan Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, karena sultannya itu langsung jadi Gubernur tanpa harus dipilih berkat ada Undang-Undang Keistimewaan (UUK), beda dengan keraton Solo,” paparnya.
Sementara itu, lanjutnya, Kasultanan Yogyakarta ini berpotensi terbelah karena konflik yang begitu rumit di internal Keraton ini sangat esensial berkenaan dengan adat istiadat atau paugeran di keraton itu sendiri. Banyak masyarakat Yogyakarta yang menurutnya masih ingin mempertahankan peugeran tersebut. Namun di sisi lain, ada pula masyarakat dan pengamat yang mengakui kalau peugeran tersebut buatan manusia dan bisa diubah. “Jadi di sini yang akan terbelah bukan hanya dari internal keraton saja, tapi masyarakat Yogyakarta pun sepertinya juga akan terbelah dalam memandang masalah ini,” jelasnya.
Konflik yang terjadi saat ini, menurut Prof. Tulus, sepertinya juga akan berlangsung lama. Karena masalah yang mendera Keraton ini adalah masalah besar, yaitu tentang suksesi kepemimpinan di Keraton. “Sultan kemudian mengeluarkan sabdaraja yang salah satu isinya tentang penyematan Gelar Mangkubumi kepada GKR Pembayun yang nantinya secara langsung akan menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Padahal, Sultan juga masih mempunyai saudara laki-laki dari putra HB ke IX untuk dijadikan putra mahkota,” ungkapnya.
Budayawan ini pun menilai, jika dalam permasalahan suksesi tersebut, ada baiknya jika Sultan bisa kembali melihat dan belajar pada masa lalu, khususnya pada kasus suksesi yang terjadi pada masa Sultan Hamengku Buwono V. Menurutnya, pada masa Sultan HB V permasalahan siapa yang akan diangkat menjadi Putra Mahkota juga terjadi, karena Sultan HB V sendiri pada kenyataannya tidak memiliki anak laki-laki yang bisa menjadi penerusnya sebagai Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat. Namun, langkah yang diambil oleh Sultan HB V berbeda dengan langkah yang diambil oleh Sultan HB X. “Dalam menyelesaikan permasalahan suksesi tersebut, Sultan HB V mengambil langkah dengan memilih keponakannya untuk dijadikan Putra Mahkota, sebagai penerus dirinya sebagai Sultan Yogyakarta. Bukan menjadikan putrinya sebagai Putri Mahkota,” tutupnya. (hasbi/(ed) sakinah)