Berita

Kasultanan Yogyakarta Harus Tetap Dijaga

Hingga saat ini, Kasultanan Yogyakarta merupakan Kasultanan yang masih tetap terkenal dengan eksistensinya menjaga budaya, adat istiadat serta tradisi sekalipun sudah bergabung dengan pemerintahan Indonesia. Namun, dengan adanya konflik internal yang terjadi di kalangan keluarga Kasultanan Yogyakarta akhirnya memaksa masyarakat turut terlibat karena kepedulian masyarakat yang mulai mempertanyakan eksistensi Kasultanan Yogyakarta. Karena itu, selayaknya Kasultanan Yogyakarta harus tetap menjaga eksistensinya baik itu oleh kalangan internal kasultanan sendiri maupun oleh masyarakat Yogyakarta.

Demikian benang merah pada diskusi terbatas yang diselenggarakan Biro Humas dan Protokol UMY menanggapi adanya Pro dan Kontra Sabda Raja Keraton Yogyakarta. Tunjung Sulaksono, S.IP, M.Si sebagai narasumber utama dalam diskusi pada Jum’at (8/5) di Jurusan IP UMY mengatakan, dari zaman dulu setiap kasultanan pasti mengalami konflik-konflik internal terkait dengan suksesi atau pergantian kekuasaan. Hanya bedanya, jika konflik pada kasultanan zaman dulu diwarnai dengan pertikaian yang berdarah-darah, maka untuk masa sekarang hal itu seharusnya sudah tidak berlaku lagi. “Karena masih ada jalan lain yang lebih manusiawi dan beradab yang bisa ditempuh. Kasultanan Yogyakarta dalam hal ini, seharusnya juga bisa menyelesaikan permasalahannya dengan cara yang lebih manusiawi dan beradab. Jangan sampai yang terjadi di masa lalu terulang kembali di masa sekarang, hanya karena permasalahan suksesi yang belum juga terselesaikan,” jelasnya.

Dari segi tatanan pemerintahan, lanjut pakar ilmu pemerintahan UMY ini lagi, konflik yang terjadi terkait suksesi pada internal Keraton Yogyakarta tersebut secara tidak langsung juga berimbas pada masyarakat Yogyakarta. Hal ini disebabkan, Keraton Yogyakarta sudah terintegrasi dengan Pemerintah Daerah, sehingga apapun yang berkaitan dengan Keraton Yogyakarta juga ikut berkaitan dengan kepentingan publik di Yogyakarta. “Kasultanan Yogyakarta ini sudah terintegrasi dengan pemerintah daerah. Adanya UUK (Undang-undang Keistemawaan) juga semakin mengukuhkan bahwa Sultan Yogyakarta juga sekaligus sebagai Gubernur Yogyakarta. Kemudian beberapa waktu terakhir ini Sultan mengeluarkan Sabda Raja yang sebenarnya terkait dengan suksesi (pergantian kekuasaan). Karena terkait dengan suksesi inilah maka berpengaruh pada masyarakat, mau tidak mau hal ini melibatkan masyarakat baik secara psikologis atau pun kepentingan-kepentingan lainnya. Karena ini juga berkaitan dengan siapa yang akan memimpin Yogyakarta selanjutnya setelah Sultan,” paparnya.

Tunjung pun melihat, adanya Sabda Raja itu juga seolah sebagai jalan mulus untuk melakukan suksesi dengan memberikan gelar Mangkubumi kepada putri sulungnya. Hal ini pun menurutnya kian membuktikan bahwa Sultan memang ingin menjadikan GKR Pembayun sebagai Putri Mahkota. Masalah yang muncul kemudian adalah jika GKR Pembayun ini juga didaulat menjadi Gubernur Yogyakarta. Padahal, dari Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) Yogyakarta sudah ditetapkan bahwa Gubernur Yogyakarta itu haruslah seorang laki-laki. “Sementara di sisi lain, masih ada saudara-saudara Sultan yang laki-laki juga merasa memiliki hak untuk itu. Lain halnya kalau Sultan memang tidak punya saudara laki-laki, sehingga hal inilah yang kemudian juga memicu konflik di kalangan keluarga Kasultanan Yogyakarta dan terpaksa ikut melibatkan masyarakat Yogyakarta. Sebab ini juga sebenarnya bukan karena soal sensitif gender atau bukan, tapi ini lebih pada masalah budaya, tradisi, dan adat,” ungkapnya.

Karena itu, Dosen Ilmu Pemerintahan UMY ini pun berharap dan menganjurkan agar permasalahan tersebut dapat segera diselesaikan oleh pihak Kraton Yogyakarta. Selain itu, Tunjung pun berharap, agar Peugeran yang selama ini masih bersifat internal Kraton ​juga dapat disampaikan secara terbuka pada masyarakat Yogyakarta. Karena selama ini menurutnya, masyarakat Yogyakarta juga masih dibingungkan dengan bagaimana sebenarnya sistem suksesi pada Kasultanan Yogyakarta.

“Apa yang terjadi saat ini sangat jelas memprihatinkan. Karena Kraton Yogyakarta, bagaimana pun adalah sebuah panutan. Sultan, secara pribadi maupun sebagai tokoh utama kesultanan di Yogyakarta juga masih sangat dihormati oleh masyarakat Yogya. Tapi, begitu ada kejadian seperti ini, saya pikir berpengaruh pada tingkat kepercayaan masyarakat kepada Sultan dan Kraton Yogyakarta. Respek dari masyarakat akan berkurang, dan role modelnya akan hilang, jika permasalahan ini belum juga terselesaikan. Karena itu kami harapkan agar permasalahan ini bisa segera diselesaikan oleh pihak Kraton,” tutupnya.