Berita

Kasus Rohingya Bukan Semata-Mata Isu Agama

Memanasnya kembali kondisi Rohingya mendapatkan perhatian dari banyak kalangan, termasuk para akademisi. Para akademisi menilai apa yang terjadi di Rohingya tersebut bukan semata-mata hanya berkaitan dengan isu agama, khususnya Agama Islam. Namun lebih kompleks dari hal itu. Hal tersebut sebagaimana disampaikan oleh kalangan akademisi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dalam acara Focus Grup Discussion (FGD) “Rohingya Dalam Isu Kemanusiaan, Agama dan Politik”, yang diselenggarakan pada Selasa (5/9) di Ruang Sidang Direktur Pascasarjana UMY.

Prof. Dr. Tulus Warsito, salah seorang guru besar Hubungan Internasional UMY mengatakan bahwa kasus yang terjadi di Rohingya tersebut, kurang relevan jika hanya dikatakan berkaitan dengan isu agama Islam. Namun lebih kompleks daripada itu, kasus Rohingya ini merupakan masalah pluralisme, perbatasan dan kewarganegaraan. “Tiga sebab ini mengakibatkan masyarakat Rohingya mengkristal menjadi gerakan separatis yang menginginkan Rakhine menjadi negerinya sendiri. Untuk mengatasi hal tersebut maka ini harus diangkat menjadi isu internasional,” jelasnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Dr. Rahmawati Husain, Wakil Ketua Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC). Ia mengatakan bahwa permasalahan Rohingya adalah permasalahan yang mempunyai sejarah panjang, namun semakin memanas pada akhir-akhir ini. Total masyarakat yang terkena dampak dari kasus ini ada sekitar 525.000 orang. “ Dari jumlah total tersebut 218.000 orang berada di camp pengungsian dan 507.000 orang lainnya tinggal di rumah-rumah penduduk,” tambahnya.

Rahmawati juga menambahkan dalam rangka gerakan nyata membantu kasus Rohingnya, Indonesia merupakan satu-satunya negara yang diterima untuk ikut membantu menyelesaikan kasus Rohingnya. “Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar memutuskan untuk bersama pemerintah Myanmar untuk mengantarkan bantuan pada penduduk Rohingya. Karena Indonesia satu-satunya yang dipercaya oleh pemerintah Myanmar, dan Aung San Suu Kyi menelfon langsung pemerintah daerah Rakhine untuk melindungi bantuan kemanusiaan Indonesia dan bahkan harus difasilitasi. Kalau tidak ada telfon mungkin pihak dari Indonesia tidak akan bisa masuk,” terangnya.

Budi Setiawan selaku Ketua Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) juga menjelaskan bahwa salah satu kesulitan yang dihadapi dalam membantu kasus Rohingya adalah perilaku etnis Rohingya yang kurang mendukung. “Namun kami tetap memegang prinsip membantu kemanusiaan dan tidak memandang etnis dan agama. Akan tetapi, karena di Myanmar terdapat isu tentang agama jadi kami selalu berhati-hati dalam melakukan berbagai tindakan. Ada beberapa langkah-langkah yang diambil seperti membantu di bidang kesehatan, pendidikan dan pasar,” tambahnya.

Sementara itu, menurut Ali Muhammad, S.IP., M.A., PH.D. dosen Hubungan Internasional UMY mengatakan bahwa ini merupakan salah satu permasalahan yang disebut dengan Ethnic Cleansing, dimana suatu negara menganggap bahwa terdapat etnis yang perlu untuk dihapuskan. Sedangkan untuk persoalan mengapa ASEAN tidak bisa melakukan berbagai tindakan untuk membantu kasus ini, hal tersebut dikarenakan setiap negara di ASEAN memiliki masalah-masalah tersendiri serta memang terdapat sebuah aturan mengenai interfensi masalah negara. “Selain itu, Negara Myanmar selama ini tertutup dan itu merupakan salah satu jawaban kenapa ASEAN tidak bisa interfensi. Namun, Indonesia Alhamdulillah bisa diterima dan sebenarnya pesan Muslim Indonesia sudah diterima dan tidak perlu untuk diadakan demonstrasi di Borobudur seperti yang telah disuarakan di media,” tambahnya. (zaki)