Pimpinan pusat Muhammadiyah bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta menyelenggarakan diskusi dengan tema Round Table Discussion tentang “Pelaporan ke Dewan Hak Asasi Manusia Persarikatan Bangsa Bangsa (PBB)”, pada Kamis (20/7) di Ruang Sidang Fakultas Hukum Lantai 3. Kerjasama tersebut bertujuan untuk mendiskusikan bagaimana prosedur dan mekanisme pelaporan kepada mahkamah Internasional terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia yang ada di Indonesia. Selain itu, juga dipaparkan mengenai rencana kasus Siyono yang akan dibawa ke Dewan Kehormatan Hak Asasi Manusia Persyarikatan Bangsa-Bangsa.
Dalam paparan yang disampaikan oleh M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum. selaku ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode masa jabatan 2010-2011, Indonesia perlu memiliki pemetaan agenda tetang berbagai persoalan-persoalan yang sedang dihadapi. “Berbagai persoalan yang dihadapi bangsa kita baik itu kasus HAM atau pun kasus yang lainnya tidak akan mempunyai argumentasi yang tepat jika kasus tersebut dilakukan tanpa memiliki data dan bukti yang kuat. Dalam setiap kasus pasti ada kaitannya dengan fenomana lain yang jika kita lakukan kajian dan diruntutkan dengan kasus perkasus, akan ditemui kompleksitas yang cukup rumit,” ujar Busyro.
Suatu kasus yang terjadi, menurut Busyro seharusnya diletakan dalam satu persoalan yang memiliki kecenderungan aspek historisitas yang sesuai dengan perjalanan negara, yaitu masa orde lama, orde baru dan pasca orde baru. “Kemudian jika ketiga orde tersebut kita kaji lebih dalam apakah ada benang merah yang meyambungkan ketiga orde tersebut dengan dimensi kekuasaan atau pun politik. Misalkan, kasus yang menimpa warga negara kita yaitu kasus mendiang Siyono yang dinyatakan oleh POLRI sebagai terduga teroris. Namun, adanya kasus Siyono ini jangan sampai dipahami secara parsial akan tetapi kita harus menguraikan secara jelas dan sesuai data dan fakta yang ada. Maka untuk mengkaji hal tersebut perlu sinergi antara perguruan tinggi dengan Non-Governmental Organization (NGO) yang secara langsung memiliki kesadaran serta tanggung jawab bersama untuk menyikapi secara jernih dan objektif tentang isu-isu yang sedang dihadapi saat ini,” ujar Busyro.
Dilanjutkan oleh Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Bahwa Kasus Siyono ini sudah ditindak lanjuti dengan mengajukan 3 kali surat permintaan perkembangan perkara kepada penegak hukum. Akan tetapi hal tersebut tidak mendapatkan respon hingga saat ini. “Melihat hal tersebut, langkah hukum selanjutnya yang akan kami tempuh dalam kasus Siyono ini adalah dengan melaporkan kepada Dewan Kehormatan Hak Asasi Manusia PBB atau akan dilaporkan kepada International Criminal Court (ICC). Namun pihak Ombudsman meminta kami untuk memberikan surat pengajuan satu kali lagi terkait perkembangan perkara kasus Siyono ini kepada pihak aparat hukum. Barulah dari sana kemudian kami akan bekerjasama dengan tim Pembela Kemanusiaan dan Lembaga Swadaya Masyarakat lainnya untuk melakukan langkah yang konkrit yaitu dengan melaporkan kepada PBB,” papar Trisno.
Raden Arif Nur Fikri, S.H selaku Kepala Divisi Pembelaan Hak Asasi Manusia menambahkan tentang mekanisme internasional yang digunakan dalam kasus Siyono. “Dalam kasus ini saya tidak bisa mengatakan bisa atau tidak untuk diproses dalam mekanisme internasional. Akan tetapi pada dasarnya negara kita harus melakukan ratifikasi ICC. Kemudian jika sudah melakukan ratifikasi kita harus menempuh prosedur sesuai dengan yurisdiksi mahkamah internasional. Kasus ini salah satunya merupakan pelanggaran kasus kejahatan sistem kemanusian. Serta kita perlu mengetahui selama ini prosedur penangkapan yang dilakukan oleh Densus 88 itu seperti apa, apakah menyalahi aturan atau tidak. Ketika ICC sudah diratifikasi oleh negara maka suatu keharusan pemerintah harus patuh terhadap peraturan yang ada di ICC. Akan tetapi hal ini perlu proses yang cukup lama, untuk itu kita perlu mendukung pemerintah dalam meratifikasi pada ICC. Untuk itu dalam pelaporan ke Dewan Kehormatan PBB kita akan tetap menempuh hukum sesuai mekanisme yang sudah ditentukan mahkamah internasional,” tutup Arif