Berita

KDRT Terus Meningkat, UU KDRT Belum Bisa Lindungi Perempuan

Diskriminasi terhadap perempuan masih terjadi di Indonesia, salah satunya adalah tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia terus meningkat. Namun Undang-Undang (UU) KDRT belum sepenuhnya bisa melindungi korban KDRT, terurama perempuan. DPR sebagai wakil rakyat yang mempunyai fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan harus bisa memecahkan permasalahan KDRT dengan tiga fungsi tersebut. Ari Budi Wahyuni, Calon Legislatif (caleg) DPR RI Dapil DIY menyatakan bahwa UU KDRT belum sepenuhnya bisa menjalankan fungsi sebagai payung hukum bagi korban KDRT.

Ari mengungkapkan, dalam UU KDRT tidak dijelaskan siapa yang akan menanggung biaya selama proses pengaduan dan proses hukum KDRT. Padahal menurutnya, banyak dari perempuan yang melapor kasus KDRT berasal dari kelas menengah ke bawah. Sedangkan proses hukum tindak KDRT memerlukan biaya yang tidak sedikit. Maka dari itu, harus ada APBN yang khusus diperuntukan untuk biaya penanganan KDRT, sehingga perempuan yang menjadi korban KDRT tidak pusing memikirkan biaya untuk melapor dan biaya selama proses hukum berlangsung. “Karena dalam UU tidak disebutkan, maka fungsi anggaran juga tidak bisa dilakukan, sehingga efeknya fungsi pengawasan pun menjadi lemah. Harusnya pemerintah memikirkan tiga hal tersebut pada saat membuat UU KDRT ini,” jelasnya pada acara dialog “Kepedulian Politisi Perempuan Terhadap Permasalahan Perempuan dan Anak di DIY” di gedung Ar Fachruddin B UMY, Selasa (11/3).

Senada dengan hal tersebut, Dra. Siti Johar Wahyuningrum, M.Pd caleg DPR RI dari partai Gerindra menyatakan UU KDRT harus ditinjau kembali. Siti juga menyatakan harus adanya anggaran khusus untuk pendidikan dan perlindungan terhadap perempuan di dalam rumah tangga. Sebagai penanggulangan tindak KDRT, perempuan sebagai ibu rumah tangga harus memiliki dasar pendidikan yang kuat sehingga bisa menjadi perempuan yang cerdas dan berani. Selain melalui pembenahan UU KDRT, penanganan KDRT menurutnya menjadi tugas bersama, masyarakat khususnya perempuan harus memiliki keberanian untuk melapor apabila mengalami tindak KDRT.

Di sisi lain, diskriminasi terhadap perempuan juga terjadi di bidang pendidikan terutama pada pendidikan anak usia dini (PAUD). Program PAUD yang dicanangkan pemerintah pada tahun 2003 menuai kesuksesan, namun lagi-lagi payung hukum bagi para guru PAUD belum sepenuhnya melindungi guru PAUD yang sebagian besarnya adalah perempuan. Dalam bidang PAUD, para perempuan yang menjadi guru PAUD belum sepenuhnya mendapatkan kesejahteraan. Hal tersebut dikarenakan lemahnya UU Guru dan Dosen, dalam UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan guru dan dosen adalah mereka yang mengajar di pendidikan formal. Sementara, PAUD termasuk dalam lembaga pendidikan non formal. Sehingga banyak dari guru PAUD yang kesejahteraannya tidak diperhatikan. Padahal ketika PAUD menuai sukses, guru sebagai unsur yang membuat sukses seharusnya diberikan penghargaan dan dipikirkan kesejahteraannya.

Adapun acara dialog politisi ini merupakan dialog yang diadakan oleh Pusat Studi Wanita (PSW) UMY bekerja sama dengan SKH Kedaulatan Rakyat. Dialog tersebut dihadiri oleh 10 caleg perempuan dari dapil DIY yaitu Dra. Hj. Sudariyah, MA dari PKS, Dra. Siti Johar Wahyuningrum, M.Pd dari Golkar, Wahyuti Limiany Rahayu dari Demokrat, Ari Budi Wahyuni dari PAN, Hj. Zunatul Mafruchah, SH dari PPP, Yulia Putri Noor dari Hanura, Kristiati Purwaningsih dari Nasdem, Dra. Sri Djoharwinarlien, SU dari PDIP, Nunik Endang Sunarsih, SIP dari PAN dan Dr. Dewi Puspaningtyas Faeni dari Nasdem. (Asri)