Berangkat dari kekecewaan yang tumbuh di masyarakat bahwa sistem hukum di Indonesia yang dinilai mencederai rasa keadilan, restorative justice atau keadilan restoratif menjadi alternatif penyelesaian kasus tindak pidana ringan untuk mewujudkan keadilan hukum yang lebih memanusiakan manusia di hadapan hukum.
Hal ini disampaikan Zet Tadung Allo, S.H., M.H., Koordinator Direktorat Orang dan Harta Benda (Oharda) Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) dalam seminar nasional yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Sabtu (02/04) secara daring melalui zoom meeting.
“Hukum terus bergerak mengikuti dinamika masyarakat, restorative justice menjadi terobosan untuk mewujudkan keadilan hukum yang memanusiakan manusia, menggunakan hati nurani. Sekaligus melawan stigma negatif yang tumbuh di masyarakat yaitu hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Sehingga perkara-perkara yang sifatnya sepele atau ringan dapat diselesaikan di luar pengadilan dan tidak perlu dilimpahkan ke pengadilan,” terang Zet Tadung.
Menurutnya, penerapan keadilan restoratif dengan cara memediasi antara korban dan pelaku kejahatan dalam penyelesaian permasalahan memiliki tujuan utama pemulihan kerugian pada korban dan pengembalian pada keadaan semula. “Lebih daripada itu, melalui RJ (restorative justice), stigma negatif atau labeling “orang salah” itu dihapuskan. Ia tidak akan diadili di depan umum dan diberi kesempatan untuk bertaubat. Kalau dalam masa kesempatan itu diberikan, orang itu mengulangi perbuatannya, maka dia siap untuk dipenjara,” jelasnya.
Penyelesaian perkara melalui restorative justice mendapat respon positif dari masyarakat. Hal itu dibuktikan sejak terbitnya Peraturan Kejaksaan (Perja) No. 15 Tahun 2020, penerapan keadilan restoratif di tingkat kejaksaan relatif meningkat dengan banyaknya permintaan penyelesaian perkara di luar pengadilan. “Per tanggal 1 Maret 2022 dari 3 kejaksaan tinggi telah menghentikan sebanyak 870 perkara berdasarkan keadilan restoratif dan yang ditolak sebanyak 54 perkara,” ungkap Zet Tadung lagi.
Tidak jauh berbeda dalam kacamata kepolisian. Menurut AKBP M. Qori Ya Oktohandoko, S.I.K., M.H., Kapolres Padang, hadirnya Peraturan Kepolisian (Perpol) No. 8 tahun 2021 tentang syarat, tata cara serta pengawasan, penghentian, penyelidikan dan penyidikan tindak pidana melalui pendekatan keadilan restoratif dengan alasan demi hukum, menjadi solusi untuk mengurangi kapasitas lembaga permasyarakatan (LP).
“Banyak kasus di masyarakat yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara damai. Sehingga masalah-masalah ringan bisa diselesaikan melalui keadilan restoratif dan bisa menjadi solusi untuk mengurangi kepadatan lembaga permasyarakatan (LP),” ujar Qori.
Selain itu, Yustian Dewi, S.H., M.H., pembicara terakhir dalam diskusi panel turut mengapresiasi langkah kejaksaan dalam menerapkan restorative justice sebagai solusi dalam penyelesaian sejumlah kasus tindak pidana ringan. Ia juga menyampaikan evaluasinya terhadap pelaksanaan RJ.
“Pelaksanaan restorative justice yang diterapkan oleh kejaksaan belakangan ini perlu mendapatkan apresiasi langkah kejaksaan untuk seseorang mendapatkan keadilan restoratif. Meski demikian, berdasar pengalaman saya sebagai advokat, terdapat beberapa hal yang harus digaris bawahi dalam pelaksanaan keadilan restoratif. Seperti; monitoring dari kejaksaan dan bagaimana terhadap hasil pelaksanaan restorative justice yang tidak sesuai dengan aturan, serta kedudukan penuntut umum bukan pelaksana RJ,” pungkasnya. (NSN)