Kemajuan teknologi informasi telah membawa manusia pada digitalisasi di semua aspek kegiatan, karena saat ini kita berada pada era industri 4.0. Di bidang pertanian misalnya, dengan adanya perkembangan teknologi digital telah memunculkan teknologi internet of thing yang sering disebut sebagai smart farming. Namun demikian permasalahan yang kerap dihadapi di era sekarang ini adalah budaya konsumsi yang masih tinggi ketimbang produksi.
Dalam menanggapi hal tersebut, program Studi Agribisnis Universitas Muhammadiyah Yogyakarta mengadakan Seminar Nasional dengan tema ‘Peran dan Strategi Sektor Pertanian Memasuki Era Industri 4.0’ di Ruang Amphitheatre Lt. 4 Gedung Pascasarjana Kampus Terpadu UMY, Sabtu (9/3).
Hadir Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi M.Si yang merupakan mantan Wakil Menteri Perdagangan era Presiden Susilo Bambayang Yudhoyono, menjadi keynote speaker pada acara seminar nasional ini. Dia menuturkan ada beberapa hal yang harus dikelola pelaku agribisnis demi memenuhi tantangan era disruptive yang semakin menuntut. Karena menurutnya selama ini Agribisnis belum mampu bersaing dan memiliki terobosan konkret dalam memanfaatkan teknologi, khususnya pemasaran produk dari Agribisnis itu sendiri.
Seperti yang kita ketahui bersama ada empat unicorn atau tempat orang memperdagangkan barang atau jasa secara online atau elektronik. Gojek, Traveloka, Bukalapak, dan Tokopedia. Mereka merupakan unicorn yang didirikan oleh anak bangsa Indonesia. Bayu mengatakan di dunia pertanian sebenarnya sudah mulai merintis Trubus.id setara unicorn tersebut untuk memenuhi tuntutan Industri 4.0. “Sebenarnya di sektor pertanian sudah ada, tapi levelnya masih sangat jauh dari empat unicorn tadi. Karena permasalahan yang dihadapi Trubus.id adalah konsumen tidak mendapatkan jaminan sayuran yang diperjual belikan akan selalu segar dan bisa tersedia setiap permintaan muncul. Maka dari itu, hal ini masih tidak terlalu berkembang,” kata dosen IPB itu.
Memang dalam menghadapi perkembangan di era industri 4.0, pertanian harus segera berbenah menyesuaikan diri menjadi pertanian milenial (millennial farming) yang bertumpu pada teknologi dan inovasi sumber daya petani yang mahir dalam bidang teknologi digital (digital farmer). Pasalnya jika sektor pemasaran produk pertanian masih belum bisa bersaing melalui perdagangan online, teknologi justru harus sudah merambah soal bagaimana cara memproduksi hasil pertanian dengan menggunakan alat yang canggih dan otomatis.
Bayu menambahkan sekarang ini sudah ada penggunaan traktor berbasis teknologi, smart farming data, smart traktor yang dapat mengecek kedalaman suatu tanah yang cocok untuk menanam sayuran, buah-buahan, atau produk pertanian lainnya. Hal itu dapat memudahkan kerja petani dengan semua data yang mereka dapatkan mengenai apa saja yang mereka tanam.
“Smart farming merupakan penggabungan teknologi, informasi, dan komunikasi ke dalam mesin, peralatan, dan sensor dalam sistem produksi pertanian yang memungkinkan sejumlah data besar dan informasi akan disajikan secara otomatis. Saya memiliki harapan entah mahasiswa UMY atau dimanapun yang berkonsentrasi di dunia pertanian, dapat memiliki terobosan baru. Karena seperti yang disampaikan pak rektor UMY bahwa visi UMY membawa manfaat pada kemaslahatan umat, jadi bagaimana teknologi bisa membawa manfaat bagi kemaslahatan umat,” tambahnya.
Menurut Bayu permasalahan yang dihadapi di era industri 4.0 ini adalah tidak jauh dari konsumsi yang menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia saat ini. Belum ada budaya produksi yang coba dikembangkan bukan hanya di sektor pertanian saja tetapi hampir secara keseluruhan. Selain itu tantangan mengelola perubahan juga menjadi faktor penting lainnya. “Kita harus mulai melakukan perubahan untuk memenuhi tuntutan keterampilan dan kemampuan, serta tak kalah pentingnya adalah perubahan pola dan perilaku kompetisi. Karena harapan kita bersama adalah dengan adanya industri 4.0 akan membuat kita menjadi semakin produktif, kehidupan berkualitas tinggi dan mampu menjaga konsistensi pada apa yang kita geluti,” pungkas Bayu. (Hbb)