Kebijakan atau keputusan hukum impor dan ekspor pangan di Indonesia memberikan pengaruh yang cukup signifikan pada ketahanan pangan. Dimana ketahanan pangan ini dilihat dari beberapa aspek, yaitu ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Nampaknya, kini ketahanan pangan di Indonesia banyak mendapatkan pengaruh dari adanya campur tangan politik di dalamnya.
Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Prof. Dr. Ir. Gunawan Budiyanto, M.P., IPM., ASEAN Eng turut merespon adanya isu tersebut. Ketahanan pangan di Indonesia salah satunya dipengaruhi oleh petani dan juga kebijakan-kebijakan pemerintah. Gunawan menjelaskan bahwa apabila petani disediakan atmosfer yang tepat, justru potensinya akan sangat luar biasa. Menilik balik beberapa kejadian pada tahun 1998 dan saat Pandemi Covid-19, Gunawan melihat petani di Indonesia memiliki kemampuan beradaptasi yang sangat baik. Hal tersebut dilihat dari adanya upaya perubahan sistem ekonomi yang dilakukan petani menjadi barter di beberapa wilayah. Akan tetapi, kebijakan politik saat ini banyak dicampur tangankan ke pangan di Indonesia.
“Selama ini petani masih kurang dibimbing untuk memanfaatkan sumber daya alam dengan maksimal. Namun, yang terjadi saat ini pangan di Indonesia banyak dipengaruhi oleh keputusan politik, sehingga kebijakannya selalu berkaitan dengan impor. Kegiatan impor ini tentu saja hanya menguntungkan beberapa pihak saja,” jelas Gunawan saat ditemui setelah pembukaan Masa Ta’aruf (Mataf) Mahasiswa Baru UMY pada Senin (23/09), di Sportorium UMY.
Untuk menuju ketahanan pangan yang baik, Gunawan menyebutkan pemerintah perlu melakukan pembentukan kelompok tani dan Koperasi Unit Desa (KUD) seperti pada saat order baru. KUD pada saat zaman order baru menurutnya bisa memerdekakan petani secara ekonomi, sehingga para petani dapat merancang proses budidaya tanaman yang ingin dilakukan.
Hal senada juga disampaikan Oki Wijaya, S.P., M.P, Dosen Program Studi Agribisnis saat dihubungi secara terpisah. Ia mengatakan bahwa sebenarnya pelaksanaan impor dan ekspor sangat diperbolehkan untuk dilakukan, karena perdagangan luar negeri memberikan manfaat. Namun, hal tersebut perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut untuk kasus ketahanan pangan seperti kebutuhan untuk stabilitas harga, banyaknya cadangan pangan yang dibutuhkan, serta banyaknya preferensi konsumen dari produk impor.
“Hal ini agar impor yang dilakukan tidak menimbulkan excess supply (situasi dimana jumlah barang yang ditawarkan lebih besar dari jumlah permintaan). Sebab ini akan berdampak pada jatuhnya harga pangan di bawah harga pasar sehingga dapat merugikan petani sebagai produsen,” pungkas Oki.
Berkaitan dengan pelaksanaan impor beras, Oki merasa bahwa pemerintah Indonesia belum melaksanakan impor dengan sebagaimana mestinya. Ini diindikasikan dengan adanya kelebihan cadangan pangan yang pernah terjadi, dan justru menyebabkan kelebihan biaya pada biaya penyimpanan yang ditanggung oleh Bulog.
Dampak pelaksanaan impor beras yang kurang baik dapat kita rasakan juga saat ini, dimana, sebagai contoh Bank Dunia mengungkapkan bahwa harga beras di Indonesia jauh lebih mahal 20 persen dibandingkan harga beras di pasar global. Bahkan harga beras di Indonesia lebih tinggi dari negara tetangga ASEAN lainnya. (NF)