Kebijakan proteksionis Presiden Donald Trump, seperti kebijakan tarif bukan sekadar kontroversial, tapi telah memicu perubahan besar dalam dinamika ekonomi global—khususnya dalam hubungan dagang Amerika Serikat (AS) dengan Cina dan negara-negara lainnya.
Hal ini diungkapkan oleh pakar politik luar negeri AS, Dr. Ratih Herningtyas, S.IP., M.A., dalam seminar bertajuk “Trumponomics & Pengaruhnya pada Ekonomi Politik Global”, yang digelar oleh Pusat Studi Keamanan Internasional (COISS) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Rabu (23/4), di Ruang Amphitheater Gedung E6 KH. Ibrahim UMY.
Menurut Ratih, sejak awal 2024, efek dari kebijakan tarif AS mulai terasa. Beberapa negara merespons dengan cara yang berbeda.
“India memilih lobi dan mengajukan penghapusan tarif, Indonesia membuka ruang negosiasi, sementara Cina justru membalas dengan tarif lebih tinggi. Hingga saat ini, Cina belum menunjukkan sinyal untuk berunding,” jelasnya.
Ratih juga menyoroti dampak dalam negeri AS. Dukungan terhadap Trump terus menurun, bahkan di sembilan negara bagian swing voters yang sebelumnya menjadi kunci kemenangannya.
“Masyarakat AS mulai kehilangan kepercayaan. Data menunjukkan, tingkat kepuasan publik terhadap Trump anjlok, bahkan menjadi yang terendah dalam 100 hari pertama masa kepresidenan dibanding presiden sebelumnya,” ungkapnya.
Sementara itu, Prof. Faris Al-Fadhat, S.IP., M.A., Ph.D., menilai kebijakan tarif Trump sebagai langkah radikal yang menggunakan slogan “America First” untuk menjustifikasi proteksionisme.
“Di periode pertamanya, target kebijakan ini adalah Tiongkok. Namun kini hampir semua negara kena imbasnya. AS menerapkan tarif impor sebesar 10 persen secara menyeluruh—angka ini terus berubah-ubah,” ujar Wakil Rektor UMY tersebut.
Faris menyebutkan bahwa Indonesia juga ikut terkena dampak. Ketika Indonesia mengenakan tarif 32% terhadap etanol asal AS, negara adidaya itu langsung membalas dengan tarif serupa untuk seluruh produk impor dari Indonesia.
“Inilah yang disebut resiprokal. Akibatnya? Perlambatan ekonomi, inflasi naik, dan tekanan global yang juga dirasakan Indonesia,” ujarnya.
Dalam perspektif geopolitik, Prof. Ali Muhammad, S.IP., M.A., Ph.D., menambahkan bahwa kebijakan tarif Trump mencerminkan sikap unilateralisme AS yang semakin kuat sejak 2017. AS menarik diri dari berbagai kesepakatan global, seperti Perjanjian Paris dan keanggotaan WHO.
“Unilateralisme Trump menciptakan ketidakstabilan. Perdagangan global anjlok drastis, diproyeksikan turun hingga 80% pada 2025. Ini membuka jalan menuju resesi global,” jelas Prof. Ali.
Lebih jauh, ia menilai bahwa arah kebijakan luar negeri AS saat ini justru memberi ruang bagi Cina dan Rusia untuk memperkuat pengaruhnya.
“Retorika Trump memperlemah kolaborasi internasional. Dunia sedang menghadapi kekosongan kepemimpinan global, dan peluang ini bisa diambil alih Cina. Ini bukan langkah yang memperkuat Amerika, justru sebaliknya,” tutupnya. (FU)