Munculnya kebijakan low cost green car (LCGC) yang ramai didiskusikan telah menuai polemik dan menjadi misleading karena sesuai roadmap, LCGC sejatinya adalah kendaraan ramah lingkungan disiapkan sebagai alternatif kendaraan yang ramah lingkungan bukan berubah menjadi mobil murah bagi masyarakat miskin. Hal tersebut disampaikan oleh peneliti Fakultas Ekonomi UMY, Ahmad Ma’ruf, SE, M.Si.
Dialog Konsep LCGC pada masa 7 tahun yang lalu membicarakan pengembangan bauran energi pada kebijakkan energi nasional. “Kalau sekarang muncul mobil murah untuk rakyat miskin itu salah besar, orang miskin nggak perlu disediakan mobil apalagi pakai pertamax. Orang miskin kok pakai pertamax. Jadi ini jelas misleading dari konsep kebijakkan, itu bukan untuk rakyat miskin,” katanya.
Maaruf meyakini mobil murah berkonsep city car yang digadang-gadang untuk kalangan bawah tersebut justru akan banyak diminati oleh kelas menengah. City Car, lanjut Maaruf, saat ini banyak diminati oleh masyarakat kelas menengah. “Kalo kelas menengah ditawari mobil ini seneng banget, secara umum dengan alternatif ini akan seperti kacang goreng bagi kelas menengah. Begitu ada barang murah siapa saja akan beli.” ujarnya.
Adanya keinginan pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai basis produksi mobil murah tersebut di ASEAN dinilainya hanya sebagai usaha mensubstitusi produk mobil impor yang ada di Indonesia. Karena, lanjut Maaruf, Indonesia saat ini menjadi konsumen mobil terbesar di ASEAN. Selain itu Indonesia akan berkompetisi dengan Thailand yang telah menjadi basis industri otomotif di ASEAN. “Pertanyaannya produknya untuk siapa? konsumen mobil terbesar itu ada di Indonesia. Kalau disebut basis produksi untuk ASEAN itu omong kosong, itu untuk pasar domestik,” tambahnya.
Meski tidak menolak kehadiran LCGC tersebut, Maaruf berpendapat, dengan adanya kendaraan dengan harga yang murah tanpa disertai adanya transportasi publik yang baik hanya akan menambah kemacetan baru. “Dengan pola harga yang murah kemudian tidak diimbangi dengan kebijakan transportasi massal yang baik orang akan cenderung ramai-ramai beli mobil itu kayak kacang, karena murah.”
Kebijakkan ini, kata Maaruf harus simultan dengan diiringi kebijakan transportasi masal yang baik. “Akan efektif apabila kebijakannya harus bareng. Solusinya, dari sisi kebijakkan makro subisidi itu diprioritaskan untuk membangun angkutan publik yang baik. Kalau perlu subsidi sebanyak – banyaknya. Indonesia nggak hanya Jakarta, angkutan di daerah jelek tidak nyaman dan tidak safety. Itu menunjukkan kita nggak serius mengurus public transportation,” tambahnya lagi.
“Kehadiran mobil ini tidak perlu ditolak mentah, ini kan alternatif. Caranya PEMDA harus memberlakukan pajak kendaraan yang tinggi. Pajaknya harus dikenakan pada semua kendaraan, makin tinggi CC makin tinggi pajaknya dengan selisih yang tinggi. Untuk kota besar kebijakan Electronic Road Pricing sudah menjadi kebutuhan.”
Ia berharap kedepannya pemerintah dapat konsisten terhadap kebijakan yang telah dibuatnya ini karena telah memiliki regulasi yang jelas. ”Ini sudah muncul regulasinya lalu investasinya sudah ada. Sekarang bagaimana konsistensi terhadap kebijakan awalnya yaitu kebijakan energy dan public transportation. Soal mobil murah tidak apa apa, nanti orang akan rasional, begitu sudah ada transportasi publik yang baik orang akan berfikir untuk menggunakannya,” tambahnya lagi.
“Kalau untuk rakyat kecil itu hanya mencari pembenaaran, Sekarang yang disubsidi industrinya bukan rakyatnya, kalau memang mau untuk rakyat kecil ya rakyatnya yang disubsidi ketika membeli mobil ini,” jelasnya. (Lalu)