Berita

Kehormatan Mahkamah Konstitusi Harus Dikembalikan

Pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh ketua Mahkamah Konstitusi menuai banyak kritik. Respon kuat dari berbagai akademisi hukum yang tergabung dalam Forum Dekan Hukum dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum serta Perguruan Tinggi Muhammadiyah se-Indonesia menyerukan kepada Prof. Dr. Arief Hidayat, SH, MS untuk mengundurkan diri dari jabatan Ketua MK dan Hakim Konstitusi. Hal tersebut disampaikan kepada para awak media pada Senin (05/02) di Ruang Sidang Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum selaku Ketua Forum Dekan FH dan ketua STIH Perguruan Tinggi Muhammadiyah se-Indonesia menyampaikan bahwa menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Indonesia merupakan jabatan yang sangat terhormat dan mulia. “Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu Lembaga Negara yang memiliki peranan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Namun mempertahankan integritas untuk tidak melakukan pelanggaran adalah hal yang berat bagi Hakim Konstitusi. Untuk itu sekecil apapun permasalahan yang melibatkan ketua Mahkamah Kontitusi akan berperngaruh terhadap kurangnya kepercayaan masyarakat. Seperti pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Prof. Dr. Arief Hidayat, SH, MS selaku Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,” ujar Trisno yang juga merupakan Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

Trisno menambahkan, bagi para akademisi melakukan pelanggaran kode etik Hakim Konstitusi adalah hal yang tidak dapat dibenarkan, karena hal tersebut sudah mencederai integritas sebagai hakim. “Dua pelanggaran kode etik sudah terbukti dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi dalam kurun waktu 2016-2017. Pelanggaran pertama dilakukan oleh Arief Hidayat pada tahun 2016, Ketua MK memberikan katabelece (pesan khusus) kepada Jaksa Agung Muda untuk memberikan pembinaan kepada seorang Jaksa di Kejaksaan Negeri Trenggalek. Pelanggaran kedua pada tahun 2017, Ketua MK bertemu dengan anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia pada saat mencalonkan kembali sebagai Hakim Konstitusi,” papar Trisno.

Ia juga menuturkan bahwa Dewan Etik MK telah menjatuhkan sanksi ringan kepada Ketua MK. “Sebagai suatu tolak ukur adanya kesalahan etik yang berulang maka sanksi etik tersebut pantas menjadi renungan bagi ketua MK dan pembalajaran bahwa seorang hakim adalah harus jujur, bersih dan adil. Sekecil apapun kesalahan yang diberikan sanksi merupakan persoalan besar terhadap masalah integritas dan kepercayaan publik terhadap Hakim Konstitusi. Sikap kenegarawanan harus ditunjukan Hakim Konstitusi, bahwa sanksi kode etik merupakan tamparan keras bagi penegakan hukum di negeri ini” imbuhnya.

“Berdasarkan fakta pelanggaran tersebut kami mewakili seluruh PTM dan STIH ingin menjaga kehormatan dan marwah MK RI sebagai lembaga terhormat dan memiliki fungsi (The Guardian Of Constitution). Selain itu dalam mengembalikan kepercayaan publik terhadap MK RI terkait kode etik ketua MK yang dinilai tidak berintegritas dan tidak mencerminkan sebagai seorang Negarawan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 24C ayat (5) UUD 5 terkait Hakim Konstitusi Harus memiliki Integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negerawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan serta tidak merangkap sebagai pejabat negara,” tandas Trisno. (Sumali)