Setelah melalui rapat di DPR RI, pemerintah akhirnya menetapkan tarif dasar listrik (TDL) naik 10 persen terhitung per 1 Juli 2010 mendatang bagi pengguna non 450 dan 900 KWh (R1), sementara kenaikan bagi pengguna R1 ditolak oleh DPR. Jika kenaikan dibatasi pada non pengguna 450 dan 900, artinya kenaikan ini memang tidak menyentuh langsung masyarakat atau kebutuhan rumah tangga, yang kebanyakan menggunakan listrik 450 dan 900 KWh. Namun, kebijakan ini tetap saja menimbulkan dampak positif dan negatif bagi masyarakat.
Menurut pengamat politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Tunjung Sulaksono, M.Si akan ada dampak positif dan negatif dari kebijakan ini. “Meskipun kenaikannya tidak secara langsung menyentuh masyarakat pengguna atau rumah tangga, akan tetapi ada dampak negatif yang ditimbulkan dari kenaikan TDL dan hal ini tetap akan menimpa masyarakat. Paling tidak, tetap akan ada kenaikan biaya dalam bidang usaha atau industri, sehingga ada kemungkinan bahwa beberapa produk di pasaran akan sedikit banyak mengalami kenaikan harga terkait kenaikan TDL tersebut,” ungkapnya di Kampus Terpadu, Rabu (16/6).
Selain itu, Ia juga menguraikan jika industri berskala Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) atau besar yang tergantung pada pasokan listrik PLN sudah pasti akan terpukul dengan kebijakan ini. “Apalagi di Yogyakarta, sebagian besar roda perekonomian masyarakatnya digerakkan oleh usaha pada level ini. Bahkan jika kondisi ini tidak diantisipasi dengan manajemen pengelolaan aset sebagai kompensasi atas kenaikan TDL, bisa jadi akan banyak usaha yang mengalami kolaps, yang bermuara pada PHK bagi buruh atau karyawan,” jelas Dosen Ilmu Pemerintahan UMY ini.
Lebih lanjut, Ia menegaskan kenaikan TDL oleh PLN di Indonesia sudah pasti memicu gejolak. Hal ini lantaran PLN memonopoli distribusi energi listrik di negeri ini. Monopoli ini mengakibatkan masyarakat tidak punya pilihan ketika harus berlangganan energi listrik. Akibatnya, berapapun harga yang ditetapkan PLN, masyarakat harus mau menerimanya, suka atau tidak suka. “Lain ceritanya jika di Indonesia ada beberapa perusahaan yang diperbolehkan masuk sebagai pemain dalam industri pembangkit atau distribusi listrik. Masyarakat akan bisa memilih mana perusahaan yang memberikan tarif paling rasional dan kompetitif,” tutur Tunjung.
Tunjung berujar, alasan PLN bahwa kenaikan ini harus dilakukan sebagai upaya mengurangi subsidi memang beralasan. Subsidi bagi pengguna yang diberikan pemerintah selama ini kepada PLN akan dapat dialihkan bagi kepentingan lain yang lebih mendasar atau strategis.
Namun Ia menilai, penjelasan tersebut belum cukup tanpa ada transparansi data dan akuntabilitas terkait bagaimana sebetulnya kondisi dan manajemen keuangan dalam tubuh PLN. “Sebagai sebuah lembaga pelayanan publik, sudah saatnya PLN terbuka untuk menyampaikan laporan keuangannya, sehingga publik dapat menilai apakah PLN sudah melakukan efisiensi. Karena bisa jadi, jangan-jangan membengkaknya subsidi kepada pemerintah kepada PLN bukan karena beaya pelayanan kepada masyarakat, tetapi karena ada inefisiensi dalam tubuh PLN sendiri,” imbuh Tunjung.
Meskipun demikian, Ia mengatakan ada dampak positif juga dari kebijakan kenaikan TDL ini, antara lain kebijakan ini akan memaksa pengguna untuk lebih berhemat dalam penggunaan energi listrik. Bahkan jika memungkinkan, mereka justru akan mulai mencari energi alternatif sebagai pengganti ketergantungan terhadap listrik dari PLN.
“Ketika kenaikan TDL tidak bisa lagi dihindari, maka sebagai konsekuensinya, PLN harus menaikkan kualitas pelayanannya kepada pelanggan. Semoga responsifitas pelayanan dapat ditingkatkan dan merambah aspek-aspek pelayanan yang lain seiring kenaikan TDL,” harapnya.