Berita

Kendali Parpol Jadi Tantangan Misi “Revolusi Mental” Jokowi-JK

IMG_3020
Suasana saat berlangsungnya diskusi dalam acara Simposium II Nasional
Adanya kendali partai politik pada tingkat kementerian menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintahan baru Joko Widodo-Jusuf Kalla. Terlebih lagi dengan misi yang dibawa oleh keduanya, yakni “Revolusi Mental”. Misi ini bisa menjadi beban berat bagi pemerintahan Jokowi-JK, sebab perilaku predator politisi di tingkat kementerian bisa menjadi penghambat jalannya misi ini.
Demikian disampaikan Dr. H. Achmad Nurmandi, M. Sc selaku narasumber dalam Simposium Nasional II yang bertemakan “Jalan Perubahan untuk Indonesia Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian 2014-2019”. Panel X (Sepuluh) dari Simposium Nasional II ini yang diselenggarakan atas kerjasama Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi-JK, Forum Ilmuwan Indonesia, serta beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia ini bertempat di Ruang Sidang AR. Fachruddin B lantai 5 Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Nurmandi dalam pemaparannya mengatakan, bahwa presiden dan wakil presiden harus dapat menjaga stabilitas kabinet dengan menjaga loyalitas tunggal kepada presiden. Demikian pula dalam hal pembangunan dan penyusunan struktur kabinet dan komposisi menteri. “Dalam hal ini, Jokowi-JK juga sudah mengkampanyekan melalui misi “Revolusi Mental”nya, bahwa pihaknya akan membentuk kabinet profesional.  Namun, hal itu nampaknya tidak bisa berjalan ringan, mengingat jika adanya kendali partai politik di tingkat kementerian, seperti yang terjadi di kementerian sekarang ” paparnya.
Menurut Nurmandi, persoalan yang dihadapi Jokowi-JK saat ini berada pada level pemerintah pusat, yaitu adanya kendali partai politik pada kementerian yang akan menjadi tantangan sendiri untuk memuluskan misi “Revolusi Mental”.  Perilaku predator politisi pada kementerian inilah yang kemudian bisa menjadi hal sulit bagi Jokowi-JK untuk menciptakan pemerintahan yang profesional dan efektif. ” Inilah tantangan berat yang akan dihadapi Jokowi-JK di pemerintahan pusat. Sebab kalau kita perhatikan sebagaimana pada kabinet sekarang, khususnya di tingkat kementerian tidak bisa terlepas dari kendali parpol. Maka dari itu, “Revolusi Mental” yang menjadi misi Jokowi tidaklah mudah,” ujar dosen Ilmu Pemerintahan UMY ini lagi.
Berbeda halnya dengan Nurmandi, Prof. Dr. Tulus Warsito, M.Si. selaku Ketua Forum Ilmuwan Indonesia lebih menyoroti pada siapa tepatnya misi “Revolusi Mental” itu diterapkan. Menurut Tulus, jika dilihat dari karakter pengalaman Jokowi dan JK dalam bekerja, mereka tergolong sebagai orang-orang yang dikenal “cepat”. Namun hal ini menurutnya bisa menjadi terkendala dengan birokrasi. Selain itu, dirinya juga menyarankan adanya penyesuaian efektifitas dari cara kerja Jokowi-JK dengan memilih orang-orang yang mengerti teori dan menguasai lapangan.
“Kita melihat pengalaman Jokowi dan JK saat memerintah sebelumnya. Mereka adalah orang yang cepat, akan tetapi jika mental birokrasinya masih seperti ini akan menjadi kendala yang tidak mudah bagi Jokowi. Karena itulah, untuk menyesuaikan efektifitas dari cara kerja Jokowi-JK harus dipilih orang yang mengerti teori serta lapangan,” ujarnya, saat menjadi peserta Simposium di Panel X.

Tulus juga menambahkan, bahwa yang perlu diubah bukan postur kabinetnya. Akan tetapi budaya birokrasi yang sangat tidak bagus.  “Jadi lebih tepatnya, revolusi mental itu bukan untuk rakyat, tapi revolusi mental untuk birokrasinya. Dan inilah yang seharusnya diperbaiki oleh pemerintahan Jokowi-JK,” ungkap Tulus, yang juga Guru Besar Hubungan Internasional UMY ini lagi.  (Shidqi)​